Sunday, January 26, 2020

Memerdekakan Pola Pikir

"Merdeka itu ketika kita bebas memiliki mimpi dan berusaha merealisasikannya."
[17 Agustus 2016]

Tepat satu tahun lamanya kata-kata itu terukir jelas pada tempatnya, sebuah buku kecil yang saat ini sedang kubuka. Aku kembali menyibak lembar demi lembar kertas lusuh penuh tulisan yang sudah sobek di sana-sini.

"Ngapain, Ra? Buka buku-buku lama?" Dinara melangkah masuk, mengambil dengan asal salah satu buku yang tergeletak di lantai kamar kostku.

"Eh, enggak. Cuma liat-liat tulisanku satu tahun lalu. Ternyata aku pernah mikirin hal-hal kayak gini, ya." Aku terkekeh ringan, mengulang kembali ingatan akan semua peristiwa yang kutuangkan dalam kata-kata, meski hanya menampilkan beberapa kalimat.

"Memangnya kenapa?"

"Negara kita udah merdeka, ya. Udah lama," jawabku seraya menyodorkan buku kecil yang baru saja kubaca.

Dinara mengernyit bingung, diraihnya buku dari tanganku, "terus kenapa?"

"Tapi sayangnya pola pikir kita belum merdeka.  Belum sama sekali," lanjutku.

Raut kebingungan kembali terpancar dari wajahnya, seolah menyiratkan 'aku ngga ngerti dengan apa yang kamu omongin.' Namun ia hanya diam, tak membalas apa-apa.

"Pemikiran kita selama ini selalu terkungkung oleh suatu sistem yang bilang: kita ngga bahagia kalau nggak sukses, nggak kaya raya; kita ngga sukses kalau ngga kerja di tempat hebat, bergaji tinggi; kita ngga hebat kalau nggak jadi lulusan terbaik, masuk kampus/jurusan favorit; ngga pinter kalau nilai-nilai eksak kita kecil; ngga terkenal kalau nggak eksis di medsos; ngga keren kalau ngga berorganisasi, dan sebagainya.
Dan kalau kita masih mengoleksi semua 'nggak-nggak' itu seolah kita nggak bisa bahagia, jadi seakan-akan syarat bahagia itu ribet banget gitu ya."

Dinara menganggung-angguk sambil meletakkan buku di pangkuannya. Lantas menatapku lamat-lamat. "Ra, kamu yakin orang-orang berpikir hal yang sama kayak kamu?"

"Bisa jadi," balasku cepat.

"Tapi aku enggak gitu, tuh. Bagiku bahagia itu sederhana. Sesederhana kita bisa bersyukur, lantas kita bahagia. Karena kehidupan itu tergantung dengan apa yang kita pikirkan, kan? Dan kita diberi kebebasan untuk menjalankannnya dengan versi terbaik menurut kita sendiri, asal nggak bertentangan dengan ketetapan Allah tentunya." Iya tersenyum. "Atau jangan-jangan cuma kamu yang belum merdeka karena kamu masih mencatut versi kesuksesan dan kebahagian orang lain?"

Aku terdiam. Tiba-tiba seperti ada petir yang menyambar tepat di jantungku, telak sekali.

Barangkali Dinara benar, hanya aku saja yang mencatat definisi bahagia dengan berlebihan, dan tanpa disadari akulah yang masih dijajah pemikirannya oleh orang lain.
Dinara benar, dan dia memang selalu benar.
Aku tertunduk, malu pada diri sendiri. Untuk kemudian menatap wajah teduh di hadapanku kini. "Di, aku harus banyak belajar dari kamu," ujarku lirih.

Ia hanya tersenyum menampilkan pancaran teduh pada wajahnya. Dinara yang tidak muluk-muluk meminta ini itu pada kehidupan, namun selalu bahagia.

"Kita sama-sama belajar, Rania," balasnya seraya mendekapku hangat.

***

Kisah harian Rania dan Dinara yang pertama kali ditulis tepat pada perayaan Hari Ulang Tahun Indonesia ke-72.

Tulisan ini pernah saya post di line. Namun karena satu dan lain hal, tidak saya publikasikan lagi di media yang sama. Kini kumpulan-kumpulan tulisan itu akan saya share di blog sebelum terhapus dari memori penyimpanan di handphone.

Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipetik dari untaian kalimatnya.
Teruslah berbahagia!

0 comments:

Post a Comment