Sunday, November 20, 2016

Di Ujung Horizon



 Pandanganku tertuju pada hamparan putih di luar sana. Gumpalan awan terlihat memesona sejauh mata memandang, laksana hamparan permadani yang siap mengantarkan kepergianku merengkuh semua impian.
Tak lama, gumpalan putih itu perlahan-lahan tergantikan oleh pesona samudera yang terlihat amat menakjubkan dari ketinggian. Gradasi warna yang tercipta begitu memanjakan mata. Untuk kesekian kalinya aku harus mengucap syukur atas keindahan tak terhingga yang telah diciptakan-Nya. Keindahan yang tak ternilai, keindahan yang tak tertandingi.
Melihat hamparan biru itu membuatku tersenyum. Pikiranku langsung melayang pada semua kejadian yang telah memberikan warna dalam hidupku. Kejadian yang berujung pada keindahan dengan akhir yang tak pernah kuimpikan.

***

Aku berusaha memaksakan senyum ketika melihat hasil pengumuman penerimaan mahasiswa baru yang baru kubuka sore ini. Beberapa teman memberikan selamat atas hasil yang kuperoleh. Mungkin aku termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang beruntung telah lolos dalam seleksi jalur undangan ini. Dan mungkin di luar sana banyak yang bersorak bahagia atas apa yang mereka peroleh, tapi tidak denganku.
Lagi-lagi aku mengecek pengumuman, berharap aku salah lihat atau setidaknya ada keajaiban yang akan mengubah hasil yang terpampang di depanku. Tapi itu hanya imajinasiku saja. Karena kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan.
“Ayna mau ikut tes, Mak,” ujarku ketika Amak menghampiri. Wanita di sampingku kini menampakkan kerutan di dahinya.
“Kenapa? Bukannya kau sudah diterima lewat jalur undangan?”
“Tapi Ayna diterima pada pilihan kedua, dan Ayna tidak mau. Ayna tetap mau ikut tes dan mempertahankan impian itu. Ayna ingin masuk universitas ternama di ibukota seperti Uda Hamka.”
Aku tetap beriskeras. Hingga satu bulan berikutnya, aku harus bersaing dengan sekian ribu peserta untuk memperebutkan satu kursi yang sama.
Riuh rendah suara dari lautan manusia tak menciutkan nyaliku untuk menjemput impian itu. Belum lagi jika teringat doa-doa, harapan, dan petuah yang sudah terlontar indah dari bibir Amak. Rasanya tak sanggup untukku mengkhianati harapan yang tergambar jelas dalam sorot bening matanya itu.
Namun lagi-lagi kenyataan membangunkanku dari indahnya mimpi yang telah tercipta. Aku harus menerima pahitnya kegagalan atas semua usaha yang telah kulakukan. Saat itu aku berpikir, untuk apa kita dilambungkan oleh manisnya impian hanya untuk dijatuhkan oleh pahitnya kenyataan. Entah mengapa aku merasa ini tidak adil. Bayang-bayang keputus-asaan menghampiriku sepanjang hari. Bahkan sempat kubilang pada Amak untuk tidak melanjutkan kuliah.
Amak menggeleng, menepuk pundakku lembut. “Nak, sehebat apa pun impian yang kau bangun, tetaplah yakin jika rencana Allah adalah yang terindah.”

***

Hawa dingin terasa menusuk kulit tatkala kulangkahkan kaki memasuki gerbang kampus. Suasana di daerah ini jauh berbeda dengan Bukittinggi. Di sisi jalan dapat kutemukan pepohonan hijau berjajar rapi dengan embun yang berkilat-kilat di ujungnya. Dingin menyeruak, membuatku  beberapa kali harus menggosokkan telapak tangan.
Beberapa mahasiswa dan mahasiswi hilir mudik menjemput harinya masing-masing, beberapa terlihat santai menggunakan sepeda. Dan dari yang kuperhatikan, mayoritas mahasiswi di sini menggunakan kerudung, bahkan tak sedikit yang menggunakan khimar lebar.
Seketika aku melihat pada diriku sendiri. Celana jeans, kemeja lengan panjang, dan kerudung tipis membuatku merasa risih berada di sekitar mereka. Lagi, aku merasa salah tempat. Sedikit terbesit rasa penyesalan karena akhirnya aku memutuskan kuliah di universitas ini, di tempat yang sejatinya tidak kuinginkan. Belum lagi dengan tampangku yang tidak bersemangat, jauh berbeda dengan wajah bercahaya yang ditampilkan kakak tingkatku ini. Awalnya aku merasa biasa saja, tidak terlalu menghiraukan. Namun semakin hari aku semakin memperhatikan dan ada seulas rasa iri melihat keanggunan mereka.
“Ay, ikut kajian nggak hari ini?”
Aku menoleh, dengan jelas terlihat gadis cantik berkacamata yang merupakan teman sekamarku di asrama. Demi melihatnya aku hanya bisa tersenyum, lantas perlahan mengangguk. Siapa pula yang akan menolak ajakan si cantik Nabila. Ada pancaran diri yang membuat siapa saja seolah bertekuk lutut di hadapannya. Sejak awal bertemu hingga hari ini, aku tidak pernah bisa mengatakan tidak untuk apa pun yang ia ucapkan.
Dan di sanalah hari-hariku dimulai. Dengan mengikuti kajian, berkumpul dengan akhwat-akhwat muslimah, mengikuti organisasi sosial, hingga perlahan-lahan membuka diri untuk berdakwah.
Aku ingat hari itu, Nabila dengan wajah ceria memberiku sebuah ‘hadiah spesial’ katanya. Dengan antusias aku membuka kado pemberiannya itu dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati gamis dan khimar lebar terlipat rapi di sana. Seketika aku menatap wajahnya yang masih memancarkan senyuman. Ia dengan mantap mengangguk. Dan lagi, aku tak kuasa berkata tidak atau sekedar menggeleng. Hingga aku yakin kalau ini memanglah jalanku. Jalan indah yang telah digariskan Allah untukku.
Esoknya aku melenggang dengan penampilan berbeda. Dan tak kusangka banyak yang memuji, tersenyum senang, bahkan mendukung keputusanku untuk mulai berhijab syar’i. Dari kursi panjang di ujung koridor kampus, aku dapat menyaksikan Nabila tersenyum bahagia sambil mengacungkan dua buah ibu jari tangannya.

***

Tiga tahun berlalu setelah keputusanku untuk berhijrah. Semenjak hari itu, aku semakin rutin mengikuti kajian, juga dengan dukungan Nabila yang membimbingku mempelajari ilmu agama. Aku semakin aktif mengikuti organisasi, semangat untuk berdakwah, bahkan makin semangat dalam mengikuti mata kuliah, tanpa mengingat-ingat lagi penyesalanku dulu pernah menginjakkan kaki di universitas ini.
Kini aku bersyukur, terlebih lagi ketika namaku dipanggil sebagai salah satu peraih IPK tertinggi saat wisuda. Lagi-lagi terngiang di kepalaku ucapan Nabila tiga tahun yang lalu. ‘Jangan hanya berusaha mengejar dunia. Karena jika kamu mengejar akhirat, dunia akan mengikuti.’
Dengan langkah mantap aku maju ke podium untuk sekedar memberi sambutan. Dan tentunya menyampaikan ucapan terimakasih tak terhingga pada Allah, Amak, dan juga inspirator terbaikku—Nabila.
Dua bulan berikutnya, aku dan Nabila bersama-sama mendaftarkan diri untuk program beasiswa Pascasarjana dari Pemerintah Turki—YTB (Yurtidşi Türkler ve Akraba Topluluklar Başkanliği). Lagi-lagi aku diberitahu oleh Nabila terkait hal ini. Dan aku selalu kagum dengan sosoknya yang selalu antusias, penuh semangat dan mampu menularkannya pada orang lain—termasuk aku.
Tahap penyeleksian berkas hingga tahap wawancara berhasil kami lewati. Dan pada pengumuman akhir, aku hanya mendapati namaku tertera sebagai peserta cadangan. Sementara Nabila lebih beruntung untuk memperoleh beasiswa itu. Namun kegagalan kali ini tidak membuatku putus asa seperti saat SMA dulu. Aku lebih mempercayai takdir dan berkhusnudzan pada Allah. Seperti kata Amak bahwa seberapa hebat pun impianku, akan ada rencana Allah yang lebih indah.
Namun lagi-lagi agaknya keberuntungan berpihak padaku. Kini aku sudah kembali ke Bukittinggi untuk mengistirahatkan diri sejenak. Sementara Nabila kembali ke kampungnya di Yogyakarta. Siang itu aku mendapat email dari pihak Kedutaan Besar Turki di Indonesia bahwa aku terpilih sebagai peserta program beasiswa karena ada peserta yang mengundurkan diri. Lagi-lagi aku tak henti-hentinya mengucap syukur, Amak bahkan sampai berurai air mata terharu.
Seketika aku teringat Nabila. Aku harus menyampaikan kabar bahagia ini. Bahkan aku sudah dapat membayangkan kami yang akan menaiki pesawat bersama melintasi benua untuk yang pertama kalinya.
“Assalamu’alaikum, Nab. Apa kabar?”
Seperti biasa Nabila menyambut dengan riang dari ujung sana. Aku tak sabar lagi untuk menyampaikan kebahagiaan yang sudah berada di ujung lidah.
“Alhamdulillah baik, Ay. Kamu apa kabar? Oh ya, aku tidak jadi mengikuti program beasiswa di Turki. Bapak sudah sakit-sakitan di sini, dan aku diminta untuk melanjutkan kepengurusan pondok.”
Deg.
Seketika aku seperti mendengar sambaran petir. Lagi, impian itu hancur berkeping-keping, berhasil dipatahkan dengan sempurna.
“Nab, aku terpilih sebagai peserta untuk beasiswa itu. Aku tidak tahu kalau kamu yang mengundurkan diri. Aku harus bagaimana?”
“Lanjutkan Ayna! Lanjutkan impianmu, impianku, dan impian kita. Aku akan selalu mendukung dan mendoakanmu dari sini.”
Kini aku yang berurai airmata.

***

Tak sadar satu tetes air mata perlahan jatuh dari sudut pipi. Dengan cepat aku mengusapnya dan memaksa mengurai senyum kala teringat kenangan selama empat tahun ini.
Semburat jingga berpendar di cakrawala. Beberapa menit yang lalu terdengar pemberitahuan bahwa pesawat kami akan mendarat sekitar empat puluh lima menit lagi. Aku menegakkan posisi duduk, terlihat keindahan Kota Istanbul dari atas sini. Kota yang akan menjadi cerita perjalananku dalam dua tahun ke depan.
Kutahu, di ujung horizon sana—bermil-mil jauhnya dari tempatku sekarang—ada seonggok cerita. Di ujung horizon sana ada banyak orang yang menanti kabar kesuksesanku, ada orang yang mendoakanku dalam diam, ada orang yang menggantungkan harapan akan impian besar yang harus kuraih. Dan yang kutahu, aku harus kembali demi mengukir senyum kebahagian di wajah mereka.
Hijrah hati menuntunku untuk berhijrah ke tempat yang lebih indah.

Bertualang sejauh mata memandang, mengayuh sejauh lautan terbentang, dan berguru sejauh alam terkembang.
 

Saturday, November 19, 2016

1:42 PM - No comments

Bekerja Untuk Keabadian












Suatu saat, dunia akan mengenalmu lewat tulisan.

Ada sebuah kutipan dari Imam Al-Ghazali. "Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah." Dari kata-kata itu dapat kita lihat begitu pentingnya arti tulisan. Karena jika kita sudah tidak ada lagi di dunia, raga kita sudah tak dapat lagi dijumpa, akan ada tulisan yang masih selalu terkenang, dengan nama kita yang tetap terpatri abadi di setiap akhir baitnya.

Menulis itu bukan tentang siapa yang pandai atau siapa yang paling banyak ilmunya, paling banyak pengalamannya. Bukan. Menulis itu hanya tentang keinginan. Keinginan untuk berbagi, keinginan untuk menjadi seseorang yang bermanfaat, atau bahkan keinginan untuk mengubah dunia.

Mengapa bisa dikatakan mengubah dunia? Karena boleh jadi, suatu saat kita yang bukan siapa-siapa ini tidak hanya dikenal dunia lewat tulisan, namun juga bisa mengubah dunia hanya lewat tulisannya.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

―Pramoedya Ananta Toer

Friday, November 18, 2016

7:46 AM - No comments

Aku dan Dunia



Oleh: Sofia Octaviana

Aku seorang pemimpi
yang berdiri di tengah globalisasi
Senantiasa mengikuti peraturan
Demi terbebas dari sesatnya pergaulan

Aku seorang pengukir imaji
yang ingin bergabung dengan banyak organisasi
Senantiasa mencipta karya
Agar dilihat dunia

Aku seorang penentang zaman
yang berusaha menjadi penerus peradaban
Senantiasa bekerja keras
Demi menuai kata puas

Namun pada akhirnya
aku bukan siapa-siapa
Hanya seorang penjunjung asa
yang berusaha mengubah dunia
dengan kata-kata

Kotaagung, 20 Februari 2016

Wednesday, November 16, 2016

2:03 PM - No comments

Asa

Oleh: Sofia Octaviana

Gemeletuk asa yang mencuat
dari bilik-bilik jiwa
Menghantar angan
akan indahnya dunia

Namun perih
Gegap terdengar derai-derai cerca
mencipta kabut dalam hamparan cita
membuat pudar imaji
yang telah sempurna terlukis olehku

Kini aku bisa apa
ketika semua jiwa meragukan setiap kemungkinan
ketika semua mulut mengumpat cacian kejam
ketika semua mata menghujam sinis
ke arah seorang yang tak berdaya
terkungkung oleh asa
yang mendarah dalam tegapnya raga

hanya mencicit perih
: asaku belum sirna!

Kotaagung, 17 Januari 2016