7:30 AM -
Short Story
No comments
Di Ujung Horizon
Pandanganku tertuju
pada hamparan putih di luar sana. Gumpalan awan terlihat memesona sejauh mata
memandang, laksana hamparan permadani yang siap mengantarkan kepergianku
merengkuh semua impian.
Tak lama, gumpalan
putih itu perlahan-lahan tergantikan oleh pesona samudera yang terlihat amat
menakjubkan dari ketinggian. Gradasi warna yang tercipta begitu memanjakan
mata. Untuk kesekian kalinya aku harus mengucap syukur atas keindahan tak
terhingga yang telah diciptakan-Nya. Keindahan yang tak ternilai, keindahan
yang tak tertandingi.
Melihat hamparan biru
itu membuatku tersenyum. Pikiranku langsung melayang pada semua kejadian yang
telah memberikan warna dalam hidupku. Kejadian yang berujung pada keindahan
dengan akhir yang tak pernah kuimpikan.
***
Aku berusaha
memaksakan senyum ketika melihat hasil pengumuman penerimaan mahasiswa baru
yang baru kubuka sore ini. Beberapa teman memberikan selamat atas hasil yang
kuperoleh. Mungkin aku termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang
beruntung telah lolos dalam seleksi jalur undangan ini. Dan mungkin di luar
sana banyak yang bersorak bahagia atas apa yang mereka peroleh, tapi tidak
denganku.
Lagi-lagi aku
mengecek pengumuman, berharap aku salah lihat atau setidaknya ada keajaiban
yang akan mengubah hasil yang terpampang di depanku. Tapi itu hanya imajinasiku
saja. Karena kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan.
“Ayna mau ikut tes,
Mak,” ujarku ketika Amak menghampiri. Wanita di sampingku kini menampakkan
kerutan di dahinya.
“Kenapa? Bukannya kau
sudah diterima lewat jalur undangan?”
“Tapi Ayna diterima
pada pilihan kedua, dan Ayna tidak mau. Ayna tetap mau ikut tes dan
mempertahankan impian itu. Ayna ingin masuk universitas ternama di ibukota
seperti Uda Hamka.”
Aku tetap beriskeras.
Hingga satu bulan berikutnya, aku harus bersaing dengan sekian ribu peserta
untuk memperebutkan satu kursi yang sama.
Riuh rendah suara
dari lautan manusia tak menciutkan nyaliku untuk menjemput impian itu. Belum
lagi jika teringat doa-doa, harapan, dan petuah yang sudah terlontar indah dari
bibir Amak. Rasanya tak sanggup untukku mengkhianati harapan yang tergambar
jelas dalam sorot bening matanya itu.
Namun lagi-lagi
kenyataan membangunkanku dari indahnya mimpi yang telah tercipta. Aku harus
menerima pahitnya kegagalan atas semua usaha yang telah kulakukan. Saat itu aku
berpikir, untuk apa kita dilambungkan oleh manisnya impian hanya untuk
dijatuhkan oleh pahitnya kenyataan. Entah mengapa aku merasa ini tidak adil.
Bayang-bayang keputus-asaan menghampiriku sepanjang hari. Bahkan sempat kubilang
pada Amak untuk tidak melanjutkan kuliah.
Amak menggeleng,
menepuk pundakku lembut. “Nak, sehebat apa pun impian yang kau bangun, tetaplah
yakin jika rencana Allah adalah yang terindah.”
***
Hawa dingin terasa
menusuk kulit tatkala kulangkahkan kaki memasuki gerbang kampus. Suasana di
daerah ini jauh berbeda dengan Bukittinggi. Di sisi jalan dapat kutemukan
pepohonan hijau berjajar rapi dengan embun yang berkilat-kilat di ujungnya.
Dingin menyeruak, membuatku beberapa
kali harus menggosokkan telapak tangan.
Beberapa mahasiswa
dan mahasiswi hilir mudik menjemput harinya masing-masing, beberapa terlihat
santai menggunakan sepeda. Dan dari yang kuperhatikan, mayoritas mahasiswi di
sini menggunakan kerudung, bahkan tak sedikit yang menggunakan khimar lebar.
Seketika aku melihat
pada diriku sendiri. Celana jeans, kemeja lengan panjang, dan kerudung tipis
membuatku merasa risih berada di sekitar mereka. Lagi, aku merasa salah tempat.
Sedikit terbesit rasa penyesalan karena akhirnya aku memutuskan kuliah di
universitas ini, di tempat yang sejatinya tidak kuinginkan. Belum lagi dengan
tampangku yang tidak bersemangat, jauh berbeda dengan wajah bercahaya yang
ditampilkan kakak tingkatku ini. Awalnya aku merasa biasa saja, tidak terlalu
menghiraukan. Namun semakin hari aku semakin memperhatikan dan ada seulas rasa
iri melihat keanggunan mereka.
“Ay, ikut kajian
nggak hari ini?”
Aku menoleh, dengan
jelas terlihat gadis cantik berkacamata yang merupakan teman sekamarku di
asrama. Demi melihatnya aku hanya bisa tersenyum, lantas perlahan mengangguk.
Siapa pula yang akan menolak ajakan si cantik Nabila. Ada pancaran diri yang
membuat siapa saja seolah bertekuk lutut di hadapannya. Sejak awal bertemu
hingga hari ini, aku tidak pernah bisa mengatakan tidak untuk apa pun yang ia
ucapkan.
Dan di sanalah
hari-hariku dimulai. Dengan mengikuti kajian, berkumpul dengan akhwat-akhwat
muslimah, mengikuti organisasi sosial, hingga perlahan-lahan membuka diri untuk
berdakwah.
Aku ingat hari itu,
Nabila dengan wajah ceria memberiku sebuah ‘hadiah spesial’ katanya. Dengan
antusias aku membuka kado pemberiannya itu dan betapa terkejutnya aku ketika
mendapati gamis dan khimar lebar terlipat rapi di sana. Seketika aku menatap
wajahnya yang masih memancarkan senyuman. Ia dengan mantap mengangguk. Dan
lagi, aku tak kuasa berkata tidak atau sekedar menggeleng. Hingga aku yakin
kalau ini memanglah jalanku. Jalan indah yang telah digariskan Allah untukku.
Esoknya aku
melenggang dengan penampilan berbeda. Dan tak kusangka banyak yang memuji,
tersenyum senang, bahkan mendukung keputusanku untuk mulai berhijab syar’i. Dari
kursi panjang di ujung koridor kampus, aku dapat menyaksikan Nabila tersenyum
bahagia sambil mengacungkan dua buah ibu jari tangannya.
***
Tiga tahun berlalu
setelah keputusanku untuk berhijrah. Semenjak hari itu, aku semakin rutin
mengikuti kajian, juga dengan dukungan Nabila yang membimbingku mempelajari
ilmu agama. Aku semakin aktif mengikuti organisasi, semangat untuk berdakwah,
bahkan makin semangat dalam mengikuti mata kuliah, tanpa mengingat-ingat lagi
penyesalanku dulu pernah menginjakkan kaki di universitas ini.
Kini aku bersyukur,
terlebih lagi ketika namaku dipanggil sebagai salah satu peraih IPK tertinggi
saat wisuda. Lagi-lagi terngiang di kepalaku ucapan Nabila tiga tahun yang
lalu. ‘Jangan hanya berusaha mengejar dunia. Karena jika kamu mengejar akhirat,
dunia akan mengikuti.’
Dengan langkah mantap
aku maju ke podium untuk sekedar memberi sambutan. Dan tentunya menyampaikan
ucapan terimakasih tak terhingga pada Allah, Amak, dan juga inspirator
terbaikku—Nabila.
Dua bulan berikutnya,
aku dan Nabila bersama-sama mendaftarkan diri untuk program beasiswa
Pascasarjana dari Pemerintah Turki—YTB (Yurtidşi Türkler ve Akraba Topluluklar
Başkanliği). Lagi-lagi aku diberitahu oleh Nabila terkait hal ini. Dan aku
selalu kagum dengan sosoknya yang selalu antusias, penuh semangat dan mampu
menularkannya pada orang lain—termasuk aku.
Tahap penyeleksian
berkas hingga tahap wawancara berhasil kami lewati. Dan pada pengumuman akhir,
aku hanya mendapati namaku tertera sebagai peserta cadangan. Sementara Nabila
lebih beruntung untuk memperoleh beasiswa itu. Namun kegagalan kali ini tidak
membuatku putus asa seperti saat SMA dulu. Aku lebih mempercayai takdir dan
berkhusnudzan pada Allah. Seperti kata Amak bahwa seberapa hebat pun impianku,
akan ada rencana Allah yang lebih indah.
Namun lagi-lagi
agaknya keberuntungan berpihak padaku. Kini aku sudah kembali ke Bukittinggi
untuk mengistirahatkan diri sejenak. Sementara Nabila kembali ke kampungnya di
Yogyakarta. Siang itu aku mendapat email dari pihak Kedutaan Besar Turki di
Indonesia bahwa aku terpilih sebagai peserta program beasiswa karena ada
peserta yang mengundurkan diri. Lagi-lagi aku tak henti-hentinya mengucap
syukur, Amak bahkan sampai berurai air mata terharu.
Seketika aku teringat
Nabila. Aku harus menyampaikan kabar bahagia ini. Bahkan aku sudah dapat
membayangkan kami yang akan menaiki pesawat bersama melintasi benua untuk yang
pertama kalinya.
“Assalamu’alaikum,
Nab. Apa kabar?”
Seperti biasa Nabila
menyambut dengan riang dari ujung sana. Aku tak sabar lagi untuk menyampaikan
kebahagiaan yang sudah berada di ujung lidah.
“Alhamdulillah baik,
Ay. Kamu apa kabar? Oh ya, aku tidak jadi mengikuti program beasiswa di Turki.
Bapak sudah sakit-sakitan di sini, dan aku diminta untuk melanjutkan kepengurusan
pondok.”
Deg.
Seketika aku seperti
mendengar sambaran petir. Lagi, impian itu hancur berkeping-keping, berhasil
dipatahkan dengan sempurna.
“Nab, aku terpilih
sebagai peserta untuk beasiswa itu. Aku tidak tahu kalau kamu yang mengundurkan
diri. Aku harus bagaimana?”
“Lanjutkan Ayna!
Lanjutkan impianmu, impianku, dan impian kita. Aku akan selalu mendukung dan
mendoakanmu dari sini.”
Kini aku yang berurai
airmata.
***
Tak sadar satu tetes
air mata perlahan jatuh dari sudut pipi. Dengan cepat aku mengusapnya dan
memaksa mengurai senyum kala teringat kenangan selama empat tahun ini.
Semburat jingga
berpendar di cakrawala. Beberapa menit yang lalu terdengar pemberitahuan bahwa
pesawat kami akan mendarat sekitar empat puluh lima menit lagi. Aku menegakkan
posisi duduk, terlihat keindahan Kota Istanbul dari atas sini. Kota yang akan
menjadi cerita perjalananku dalam dua tahun ke depan.
Kutahu, di ujung horizon
sana—bermil-mil jauhnya dari tempatku sekarang—ada seonggok cerita. Di ujung horizon
sana ada banyak orang yang menanti kabar kesuksesanku, ada orang yang
mendoakanku dalam diam, ada orang yang menggantungkan harapan akan impian besar
yang harus kuraih. Dan yang kutahu, aku harus kembali demi mengukir senyum
kebahagian di wajah mereka.
Hijrah hati
menuntunku untuk berhijrah ke tempat yang lebih indah.
Bertualang sejauh mata memandang,
mengayuh sejauh lautan terbentang, dan berguru sejauh alam terkembang.