Thursday, July 12, 2018

MENATA KEPINGAN MEMORI (Part 1)



Dipasena Citra Darmaja. source:internet

Dipasena. Mungkin tak banyak yang tahu apa itu Dipasena, sebuah areal pertambakan udang terbesar di Lampung, Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Tapi itu dulu, sudah terlampau lama semenjak saya bisa mengingat. Karena sekarang, melihat Dipasena, saya hanya bisa menatap jejak demi jejak yang pernah terlintas di sana. Dengan segala kebahagiaan, kebersamaan, persaudaraan dan kenangannya.

Mungkin untuk pengantar, saya jelaskan sedikit tentang Dipasena. Jadi, Dipasena merupakan sebuah kawasan tambak udang di bawah naungan perusahaan yang bernama PT Dipasena Citra Darmaja (DCD). Dipasena mulai pertama kali dibangun pada 1987. Dimana dulu, daerah di ujung Tulang Bawang ini masih berupa rawa-rawa tanpa kehidupan, kecuali dipenuhi tumbuhan air, bakau, dan dihuni binatang melata.


Namun pada tahun 2007 dengan segala kisah panjangnya, PT. DCD diambil alih oleh CP Prima (PT Central Proteinprima Tbk), perusahaan asal Thailand yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan nama di Dipasena menjadi PT. Aruna Wijaya Sakti (AWS). Tapi di sini, izinkan saya tetap menyebut tempat itu sebagai Dipasena. Karena nama itu lebih familier dan bisa menghujankan berjuta-juta memori tatkala mengingatnya.


Oke lanjut...
 
Kawasan Dipasena sendiri, terdiri dari delapan desa yang diberi nama Bumi Dipasena Sentausa, Utama, Agung, Jaya, Mulia, Makmur, Sejahtera, dan Abadi. Mungkin nama-nama itu merupakan perwujudan dari harapan sang pendiri untuk perkembangan Dipasena. Dari setiap desa itu, dibagi menjadi dua blok tambak. Jadi di Dipasena terdapat 16 blok yang dimulai dari Blok 0 sampai dengan Blok 15. Untuk setiap satu blok terdiri dari 60-70  jalur, dimana satu jalurnya terdapat 10 rumah dan 20 petak tambak. Sudah kebayang, kan?

Tapi di sini saya tidak akan berkisah tentang perkembangan Dipasena dengan segala carut marutnya. Saya tak akan bercerita tentang Dipasena pada awal terbentuknya, tentang masa jaya dan terpuruknya, atau bahkan konfliknya. Bukan. Saya hanya mau berkisah tentang Dipasena dan kenangan yang ada di dalamnya.

Di sini, saya berusaha menyatukan kepingan-kepingan memori yang sudah terpecah belah, kemudian mengabadikannya menjadi sebuah kisah, untuk meredam rindu yang kian membuncah (hallahhh)
Oke skip...


Kepingan Pertama
Jadi saya sedari kecil memang dibesarkan di Dipasena, dan seperti kebanyakan anak lainnya, saya melewati masa kecil dengan bahagia, pada masanya. Di sini, saya tinggal di blok 12 Jalur 43 nomor 04, tepatnya di Desa Sejahtera, seperti yang saya jelaskan tentang desa dan blok  di atas.

Untuk satu jalur, diisi oleh sepuluh rumah, yang artinya dihuni oleh sepuluh kepala keluarga. Di depan rumah masing-masing terdapat dua petak tambak seluas 2000 meter persegi. Jadi, bisa dibayangkan sendiri, antar rumah di sini terpisah oleh dua petak tambak, yang kalau dihitung-hitung mungkin berjarak sekitar 80an meter jauhnya.

Di depan rumah, ada satu jalur lain yang dipisahkan oleh saluran air yang disebut kanal, di kanal inilah biasanya melintas speed boat, klotok, yang umumnya digunakan petambak untuk mengangkut pakan atau udang hasil panen.

Begini nih penampakan rumahnya


Dari kedua petak tambak itulah ribuan keluarga di sini memperoleh penghidupan. Pada masa-masa awal beroperasinya Dipasena, udang yang dibudidayakan adalah jenis udang windu. Namun selama perjalannya, entah semenjak tahun berapa sampai sekarang, petambak berbudidaya udang putih yang disebut vaname.
Kanal yang memisahkan satu blok dengan infra
 

Rata-rata waktu yang mencukupi agar udang siap dipanen adalah sekitar 2,5 - 3 bulan. Di saat-saat panen inilah suasana gotong royong akan sangat terasa. Seolah sudah menjadi tradisi ketika ada salah satu petambak yang panen, maka semua bapak-bapak akan bergotong royong membantu panen. Tak ketinggalan juga ibu-ibu yang bersama-sama membantu memasak makanan untuk santapan setelah panen selesai.


Hal yang paling saya nantikan ketika panen tiba adalah waktu untuk ngeleles. Di mana setelah panen selesai, saya biasanya diberi kesempatan untuk masuk ke tambak yang sudah surut, dan mengumpulkan sisa-sisa udang yang tertinggal dan tidak ikut terpanen. Biasanya dari hasil itu, saya bisa mendapatkan 1-2 kg udang, dan hasilnya dijual untuk tambahan uang jajan.


Setelah panen, biasanya tambak dikeringkan dan diberikan waktu beberapa lama untuk persiapan, sebelum memulai tebar benur lagi. Di saat-saat seperti inilah, saya dan adik saya biasanya memanfaatkan tambak yang kosong untuk perosotan, meski setelahnya kami biasa mendapat omelan karena baju dan celana jadi hitam semua, terkena gesekan plastik tambak.

Kepingan Kedua
Pendidikan sekolah dasar saya tempuh di SDN 01 Bumi Dipasena Sejahtera dan lulus pada tahun 2010. Di sinilah saya bisa mengenang tentang serunya berangkat dan pulang sekolah naik sepeda bersama teman-teman, naik turun jembatan. Belum lagi kalau malamnya hujan, pasti jalanan menuju sekolah becek karena merupakan jalan setapak tanah. Alhasil, sepatu sekolah dibawa menggunakan keresek dan baru dipakai kalau sudah dekat sekolah.

Atau pernah beberapa kali, kalau jalan benar-benar becek/licin, kami berangkat sekolah diantar bapak naik sampan, dimana kami sekaligus sepeda dinaikkan di atas perahu dayung kecil yang terbuat dari bahan semacam viber itu. Kemudian turun di infra yang notabenenya merupakan jalan trotoar, dan baru naik sepeda ke sekolah melewati infra.

Oh ya, umumnya setiap desa di Dipasena memiliki satu sekolah dasar dengan nama sesuai desa masing-masing. Namun ada beberapa desa yang memiliki sekolah menengah pertama yaitu di Desa Utama, Agung, dan Jaya yang disebut SMP Satu Atap 1,2 dan 3.





 SMP Negeri Satu Atap 1Rawajitu Timur, Bumi Dipasena Utama



SDN 01 Bumi Dipasena Sejahtera




Kepingan Ketiga
Dulu, di jalur dekat rumah belum ada jembatan penghubung langsung ke infra. Jadi kalau mau lewat infra, harus memutar ke arah jembatan yang lumayan jauh, atau paling memungkinkan baru bisa lewat infra kalau sudah di depan sekolah.
Karena dulu jembatannya belum direnovasi dan penampakannya kurang lebih seperti ini

Jembatan Tinggi

Ngeri yaa...
Tapi jangan salah, dulu jembatan itu yang jadi penghubung utama masyarakat untuk melewati infra. Di antara kerangka besi bolong-bolong itu, ada papan untuk tempat perlintasan. Dan di tengahnya ada papan panjang untuk menuntun sepeda. Kalau saya dulu menyebutnya 'jembatan tinggi'.

Tapi semenjak tahun 2009 kalau saya tidak salah ingat, jembatan itu telah direnovasi agar dapat difungsikan kembali. Dan sekarang tampilannya jadi seperti ini



 

Terakhir, ini nih penampakan jalanan infra yang sejak tadi saya sebut-sebut, Saya tidak tahu pasti kenapa jalan ini disebut infra, barangkalai karena di tempat ini dulunya berdiri kantor infra milik perusahaan yang bertugas untuk memonitoring segala aktifitas petambak. Tapi sampai sekarang, nama itu dialihfungsikan sebagai nama jalan—aka trotoar.
 

 


Mungkin segini dulu yang bisa saya ceritakan. Buat yang mau lanjut baca, selebihnya nanti saya tulis di part 2.
Saya menulis ini bukan bermaksud apa-apa, hanya sebagai wadah untuk menyimpan kenangan. Buat yang belum tahu, di sini saya bercerita untuk memberi tahu. Buat yang pernah memiliki kenangan di dalamnya, semoga tulisan ini setidaknya cukup untuk bernostalgia.
Jangan lupa bahagia!

Source: dokumentasi pribadi