9:22 PM -
Journal,Random
3 comments
MENATA KEPINGAN MEMORI (Part 1)
Dipasena Citra Darmaja. source:internet |
Dipasena.
Mungkin tak banyak yang tahu apa itu Dipasena, sebuah areal pertambakan udang
terbesar di Lampung, Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Tapi itu dulu, sudah terlampau
lama semenjak saya bisa mengingat. Karena sekarang, melihat Dipasena, saya hanya
bisa menatap jejak demi jejak yang pernah terlintas di sana. Dengan segala
kebahagiaan, kebersamaan, persaudaraan dan kenangannya.
Mungkin
untuk pengantar, saya jelaskan sedikit tentang Dipasena. Jadi, Dipasena merupakan
sebuah kawasan tambak udang di bawah naungan perusahaan yang bernama PT
Dipasena Citra Darmaja (DCD). Dipasena mulai pertama kali dibangun pada 1987. Dimana
dulu, daerah di ujung Tulang Bawang ini masih berupa rawa-rawa tanpa kehidupan,
kecuali dipenuhi tumbuhan air, bakau, dan dihuni binatang melata.
Namun
pada tahun 2007 dengan segala kisah panjangnya, PT. DCD diambil alih oleh CP
Prima (PT Central Proteinprima Tbk), perusahaan asal Thailand yang pada
akhirnya mengakibatkan perubahan nama di Dipasena menjadi PT. Aruna Wijaya Sakti
(AWS). Tapi di sini, izinkan saya tetap menyebut tempat itu sebagai Dipasena.
Karena nama itu lebih familier dan bisa menghujankan berjuta-juta memori
tatkala mengingatnya.
Oke
lanjut...
Kawasan
Dipasena sendiri, terdiri dari delapan desa yang diberi nama Bumi Dipasena Sentausa,
Utama, Agung, Jaya, Mulia, Makmur, Sejahtera, dan Abadi. Mungkin nama-nama itu merupakan
perwujudan dari harapan sang pendiri untuk perkembangan Dipasena. Dari setiap
desa itu, dibagi menjadi dua blok tambak. Jadi di Dipasena terdapat 16 blok
yang dimulai dari Blok 0 sampai dengan Blok 15. Untuk setiap satu blok terdiri dari
60-70 jalur, dimana satu jalurnya
terdapat 10 rumah dan 20 petak tambak. Sudah kebayang, kan?
Tapi
di sini saya tidak akan berkisah tentang perkembangan Dipasena dengan segala
carut marutnya. Saya tak akan bercerita tentang Dipasena pada awal
terbentuknya, tentang masa jaya dan terpuruknya, atau bahkan konfliknya. Bukan.
Saya hanya mau berkisah tentang Dipasena dan kenangan yang ada di dalamnya.
Di
sini, saya berusaha menyatukan kepingan-kepingan memori yang sudah terpecah
belah, kemudian mengabadikannya menjadi sebuah kisah, untuk meredam rindu yang
kian membuncah (hallahhh)
Oke
skip...
Kepingan Pertama
Jadi
saya sedari kecil memang dibesarkan di Dipasena, dan seperti kebanyakan anak
lainnya, saya melewati masa kecil dengan bahagia, pada masanya. Di sini, saya tinggal
di blok 12 Jalur 43 nomor 04, tepatnya di Desa Sejahtera, seperti yang saya jelaskan
tentang desa dan blok di atas.
Untuk
satu jalur, diisi oleh sepuluh rumah, yang artinya dihuni oleh sepuluh kepala
keluarga. Di depan rumah masing-masing terdapat dua petak tambak seluas 2000 meter
persegi. Jadi, bisa dibayangkan sendiri, antar rumah di sini terpisah oleh dua
petak tambak, yang kalau dihitung-hitung mungkin berjarak sekitar 80an meter
jauhnya.
Di
depan rumah, ada satu jalur lain yang dipisahkan oleh saluran air yang disebut
kanal, di kanal inilah biasanya melintas speed
boat, klotok, yang umumnya digunakan petambak untuk mengangkut pakan atau udang
hasil panen.
Begini nih penampakan rumahnya
Dari
kedua petak tambak itulah ribuan keluarga di sini memperoleh penghidupan. Pada
masa-masa awal beroperasinya Dipasena, udang yang dibudidayakan adalah jenis
udang windu. Namun selama perjalannya, entah semenjak tahun berapa sampai
sekarang, petambak berbudidaya udang putih yang disebut vaname.
Kanal yang memisahkan satu blok dengan infra |
Rata-rata waktu yang mencukupi agar
udang siap dipanen adalah sekitar 2,5 - 3 bulan. Di saat-saat panen inilah
suasana gotong royong akan sangat terasa. Seolah sudah menjadi tradisi ketika
ada salah satu petambak yang panen, maka semua bapak-bapak akan bergotong
royong membantu panen. Tak ketinggalan juga ibu-ibu yang bersama-sama membantu
memasak makanan untuk santapan setelah panen selesai.
Hal yang paling saya nantikan ketika
panen tiba adalah waktu untuk ngeleles.
Di mana setelah panen selesai, saya biasanya diberi kesempatan untuk masuk ke tambak
yang sudah surut, dan mengumpulkan sisa-sisa udang yang tertinggal dan tidak
ikut terpanen. Biasanya dari hasil itu, saya bisa mendapatkan 1-2 kg udang, dan
hasilnya dijual untuk tambahan uang jajan.
Setelah panen, biasanya tambak
dikeringkan dan diberikan waktu beberapa lama untuk persiapan, sebelum memulai
tebar benur lagi. Di saat-saat seperti inilah, saya dan adik saya biasanya
memanfaatkan tambak yang kosong untuk perosotan,
meski setelahnya kami biasa mendapat omelan karena baju dan celana jadi hitam
semua, terkena gesekan plastik tambak.
Kepingan Kedua
Pendidikan
sekolah dasar saya tempuh di SDN 01 Bumi Dipasena Sejahtera dan lulus pada
tahun 2010. Di sinilah saya bisa mengenang tentang serunya berangkat dan pulang
sekolah naik sepeda bersama teman-teman, naik turun jembatan. Belum lagi kalau
malamnya hujan, pasti jalanan menuju sekolah becek karena merupakan jalan
setapak tanah. Alhasil, sepatu sekolah dibawa menggunakan keresek dan baru
dipakai kalau sudah dekat sekolah.
Atau
pernah beberapa kali, kalau jalan benar-benar becek/licin, kami berangkat
sekolah diantar bapak naik sampan, dimana kami sekaligus sepeda dinaikkan di
atas perahu dayung kecil yang terbuat dari bahan semacam viber itu. Kemudian turun di infra yang notabenenya merupakan jalan
trotoar, dan baru naik sepeda ke sekolah melewati infra.
Oh
ya, umumnya setiap desa di Dipasena memiliki satu sekolah dasar dengan nama
sesuai desa masing-masing. Namun ada beberapa desa yang memiliki sekolah menengah
pertama yaitu di Desa Utama, Agung, dan Jaya yang disebut SMP Satu Atap 1,2 dan
3.
SMP Negeri Satu Atap 1Rawajitu
Timur, Bumi Dipasena Utama
SDN 01 Bumi Dipasena Sejahtera |
Kepingan
Ketiga
Dulu,
di jalur dekat rumah belum ada jembatan penghubung langsung ke infra. Jadi
kalau mau lewat infra, harus memutar ke arah jembatan yang lumayan jauh, atau
paling memungkinkan baru bisa lewat infra kalau sudah di depan sekolah.
Karena
dulu jembatannya belum direnovasi dan penampakannya kurang lebih seperti ini
Jembatan Tinggi |
Ngeri
yaa...
Tapi jangan salah, dulu jembatan itu yang
jadi penghubung utama masyarakat untuk melewati infra. Di antara kerangka besi
bolong-bolong itu, ada papan untuk tempat perlintasan. Dan di tengahnya ada
papan panjang untuk menuntun sepeda. Kalau saya dulu menyebutnya 'jembatan
tinggi'.
Tapi
semenjak tahun 2009 kalau saya tidak salah ingat, jembatan itu telah direnovasi
agar dapat difungsikan kembali. Dan sekarang tampilannya jadi seperti ini
Terakhir,
ini nih penampakan jalanan infra yang sejak tadi saya sebut-sebut, Saya tidak
tahu pasti kenapa jalan ini disebut infra, barangkalai karena di tempat ini
dulunya berdiri kantor infra milik perusahaan yang bertugas untuk memonitoring
segala aktifitas petambak. Tapi sampai sekarang, nama itu dialihfungsikan
sebagai nama jalan—aka trotoar.
Mungkin
segini dulu yang bisa saya ceritakan. Buat yang mau lanjut baca, selebihnya nanti
saya tulis di part 2.
Saya
menulis ini bukan bermaksud apa-apa, hanya sebagai wadah untuk menyimpan
kenangan. Buat yang belum tahu, di sini saya bercerita untuk memberi tahu. Buat
yang pernah memiliki kenangan di dalamnya, semoga tulisan ini setidaknya cukup
untuk bernostalgia.
Jangan lupa bahagia!
Source:
dokumentasi pribadi
3 comments:
Sip👍👍👍
dulu sempat sekolah di tk darma wanita.. sementara sd di kampung kalau liburan sekolah pasti liburannya palah ke tempat bapak kerja di dipasena. sungguh sebuah memori yang indah setiap meniti jembatan yang tinggi kalo mau berngkat ke tk.. jaman dulu kata bapak namnya jembatan sirotol mustaqim wkwkkw
Memories...
Post a Comment