Friday, April 10, 2020

Aku Lelah

Kumandang azan maghrib bergema dari masjid di dekat lingkungan kostku. Kubuka kunci kamar kost, meletakkan tas, membersihkan diri, lantas segera melaksanakan shalat maghrib pada waktu lebih dua puluh menit dari saat azan dikumandangkan.

Ayat suci mulai kulantunkan tatkala menyelesaikan shalat. Baru beberapa halaman tuntas dibaca, azan isya sudah datang memanggil kembali.
Lantas kutegakkan tubuh dan melaksanakan shalat sesuai waktunya.

Usai, aku bergegas keluar kamar dan mengetuk pintu kamar di sampingku. Seperti biasa setelah terdengar kunci dibuka, aku dengan cepat menghambur tanpa memedulikan si empunya yang masih asyik bermesra dengan sang sahabat: Al-Qur'an.

Tak lama ia menyelesaikan bacaanya, lantas menoleh ke arahku. "Pulang jam berapa tadi?" tanyanya, bergerak melipat mukena.

"Pas maghrib tadi nyampe." Kurebahkan tubuhku pada kasur berlapis seprai biru muda di kamarnya.

"Gimana tilawah hari ini?" sambarnya lagi. Pertanyaan rutin yang akan selalu kudengar setiap hari.

"Belum selesai, baru dapet empat lembar tadi." Belum ada setengahnya dari targetku menyelesaikan satu juz per hari.

Ia menatapku. "Nggak berniat dilanjutin?" tanyanya--lebih tepatnya kutanggapi sebagai perintah.

"Capek, Di. Besok aja subuh sekalian dirapel," kilahku sekenanya. "Lagian abis ini aku mau nyelesain tugas dulu, mikirin proposal yang belum rampung dan harus selesai lusa, belum lagi konsepan acara ini, rundown acara itu..." Dan berentetan agenda lainnya keluar dari mulutku.

"Mutabaahmu hari ini gimana?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, menatapnya lesu, "banyak yang bolong."

"Tapi kesibukan di organisasimu kelar semua?"

Untuk kedua kalinya aku menggeleng.

Ia kemudian ikut merebahkan diri di sampingku. "Kenapa nggak dikerjain sekarang? Kalau cuma dipikirin kan nggak akan selesai."

"Aku capek, Di. Kadang aku mikir mau ngelepas semua tanggung jawab ini." Kutolehkan kepala, mendapati Dinara yang terdiam menatap langit-langit kamarnya.

"Lagian kalau kamu mundur, kamu yakin bisa menyelesaikan semua kewajiban dengan tenang?"

"Ya pasti," balasku yakin. "Kan nanti aku nggak bakal kepikiran rapat ini-itu, nggak kepikiran proposal LPJ dan sebagainya. Aku bisa lebih fokus kuliah, fokus belajar, lebih banyak tilawah, nambah hafalan."

"Tapi aku ngga seyakin itu, Ra." Ia beralih menatapku singkat, kemudian kembali mengarahkan wajahnya pada langit-langit kamar. "Karena yang aku pelajari, waktu luang itu lebih berbahaya daripada waktu sibuk kita. Di tengah banyaknya waktu luang, semakin mudah setan membisiki kita untuk bermalas-malasan, kan? Kamu masih yakin bisa menyelesaikan semua kewajiban kamu kalau dilanda rasa malas?"

"Tapi kan aku pasti bisa memanajemen waktu, Di. Aku bisa..."

Belum genap aku menyelesaikan ucapanku, Dinara sudah memotong dengan kalimat-kalimat panjangnya. "Justru di situ poinnya, Ra. Bagaimana kamu bisa memanajemen waktu dengan baik. Kalau kamu bisa mengatur waktumu tanpa membiarkan waktu luang terselip sedikit pun di antaranya, kamu pasti bisa menyelesaikan semuanya dengan mudah, sesibuk apa pun kamu. Lagipula kalau ngikutin keinginan kamu tadi, masa kamu mundur dari amanah? Selama ini kamu buat LPJ kegiatan itu mah nggak ada apa-apanya, gimana kamu ngasih LPJ untuk-Nya kalau kamu mundur?"

Aku lantas mengikuti Dinara untuk menatap langit-langit kamarnya. Dan sepersekian detik menerawang lebih jauh melebihi batas di atas sana.

"Ra, percaya sama aku, kamu justru bisa menyelesaikan semua kesibukanmu dengan mudah ketika kesibukanmu dengan Allah terjaga. Bukan sebaliknya," tambahnya.

"Gitu ya, Di?" Aku menatapnya seakan mendapat sesuatu yang baru.

"Coba aja dulu," tandasnya.

Kemudian aku berpamitan keluar, kembali ke kamar, menyelesaikan target tilawah, lantas menyelesaikan tugas kuliah untuk besok yang belum sama sekali kusentuh.

Di dalam pikiran ini sudah ada list-list kegiatan yang akan kulakukan selanjutnya secara beruntutan. Dan bertekad bahwa esok aku akan menumpahkan list-list itu di atas kertas; membagi dan menentukan hal yang dijadikan prioritas.

***

Aku tahu, Dinara bisa seyakin itu karena  ia sudah menjalankan sebelumnya.
Aku tahu, Dinara yang begitu sibuk dengan padatnya aktivitas selalu mengutamakan kewajiban terhadap Rabb-Nya.
Aku tahu, Dinara bisa menyelesaikan semua tanggungjawab dengan tenang dan teratur tanpa keluar sedikit pun keluhan dari mulutnya.

Aku tahu, dan aku malu.

Malu karena selalu sok sibuk dengan urusan dunia, lantas berdalih untuk menjauh dari-Nya.
Malu karena menjalankan tanggung jawab sedikit saja, namun kerap kali berucap lelah.
Malu ... pada Dinara.

-20 Agustus 2017-

***

Tulisan ini pernah saya post di line. Namun karena satu dan lain hal, tidak saya publikasikan lagi di media yang sama. Kini kumpulan-kumpulan tulisan itu akan saya share di blog sebelum terhapus dari memori penyimpanan di handphone.

Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipetik dari untaian kalimatnya.
Teruslah berbahagia!

0 comments:

Post a Comment