Wednesday, April 8, 2020

Iya, Ini Aku Sekarang

"Dia alim ya sekarang."
"Iya tuh, kerudungnya gede-gede gitu."
"Nggak asik dia sekarang, diajak apa-apa nggak mau. Dikit-dikit kajian, dikit-dikit ke masjid."
"Iya padahal dulu suka pake jeans."
"Padahal dulu sering ngegosip bareng kita."
"Padahal dulu..."
"Padahal dulu..."

***

Aku duduk terdiam di sudut masjid, membiarkan mushaf di depanku terbuka tanpa sekejap pun dibaca. Ingatanku kembali berputar menayangkan kejadian beberapa hari terakhir di mana hampir semua teman-teman terdekatku memandang heran, bahkan beberapa dari mereka menganggap diri ini sebagai lelucon yang asyik sekali ditertawakan.

"Sejak kapan kamu jadi ustadzah, Ra?"
"Eh, Ra mimpi apa semalem?"
"Awas kalau turun tangga rok nya keserimpet."

Dan mereka pun dengan puasnya tertawa di depanku yang hanya bisa membalas dengan senyuman tipis--meski ada nyeri tak tertahankan di hati.

"Kenapa, Ra?" Sebuah suara familier membuatku tersentak. Segera kuhapus buliran bening yang tiba-tiba menetes dari sudut mata dengan ujung jari.

"Eh, Mba Hasna. Lagi nggak ada kuliah, Mba?" tanyaku kikuk.

"Iya lagi kosong, nanti jam satu ada kuliah lagi," ucapnya lembut. "Pertanyaan Mba nggak mau dijawab apa?"

"Oh, nggak apa-apa kok, Mba." Aku tersenyum salah tingkah. Meski aku tahu Mba Hasna tidak akan pernah puas dengan jawaban 'nggak apa-apa'.

"Ada apa? Cerita aja sama Mba."

Aku mendongak, menatap sorot mata teduh seorang bidadari yang kini duduk di depanku. Wajahnya meneduhkan, senyum yang terkembang di bibirnya menyiratkan ketulusan. Dan aku tak mungkin berpaling demi mendengarkan nasihat-nasihat lembut yang terlontar dari mulutnya.

"Hijrah itu susah ya, Mba," ujarku lirih.

"Nggak ada yang susah, Dek. Selama kamu meniatkan karena Allah, semuanya akan dimudahkan."

"Tapi nggak ada yang ngedukung aku, Mba. Temen-temenku malah banyak yang ngeledek. Memang sih mereka cuma bercanda, tapi kan tetep aja kata-kata mereka bikin sakit hati, Mba." Memang aku tahu ini terdengar berlebihan. Tapi aku tidak dapat memaksakan diri dan selalu berusaha merasa baik-baik saja.

Mba Hasna seketika merengkuhku ke dalam dekapannya. Ia menepuk-nepuk punggungku pelan. "Dek, hijrah itu mudah, semudah kamu memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik, maka banyak yang akan membantumu belajar. Anggap aja saat ini cuma tantangan untuk hijrah kamu, ibarat ujian; kamu harus melewatinya agar lulus, kalau enggak kamu harus mengulang dari awal. Dan tentunya ujian itu akan selalu ada tingkatannya, mungkin ini belum seberapa, kita nggak tahu kan bakal ada ujian serumit apa lagi yang menunggu di depan sana."

Aku terhanyut dan membiarkan air mataku membanjiri kerudung abu-abu yang dikenakannya.

"Hijrah itu mudah dek, yang susah istiqomah. Kalau kamu sukses menghadapi tantangan saat ini, berarti kamu berhasil untuk istiqomah pada tahap ini," lanjutnya.

"Tapi mereka suka ngebanding-bandingin aku yang dulu begini, aku dulu begitu. Kan aku malu, Mba."

Ia tersenyum dan mengangkat bahuku. "Kalau masih ada yang bilang kayak gitu ke kamu senyumin aja dan jawab 'Iya, ini aku sekarang', toh itu masa lalu kan. Adalah pilihan yang benar ketika kamu tahu itu salah dan berusaha mengubahnya. Yang salah itu ketika kamu tau itu salah, tapi kamu tetap menjalankannya."

Kuanggukkan kepalaku singkat dan kembali memeluk Mba Hasna.

"Udah hapus air matanya, malu malah diliat orang nangis-nangisan gini."

Seketika aku menatap sekeliling dan menyadari di masjid ini tidak hanya kami berdua. Segera kuhapus air mata yang sudah merambat sampai menjalari hidung; aku yakin hidungku sudah memerah kali ini. Tiba-tiba aku merutuki diri yang terlalu berlebihan dalam menghadapi sesuatu.

"Tetep semangat berproses. Istiqomah shalihah," ujarnya diiringi senyum.

***

"Ra, nanti beli tiket bareng, yuk. Katanya Super Junior mau ke Indonesia." Rini terlihat bersemangat sekali mengajakku suatu waktu.

"Aduh aku mau ikut kajian nanti, kamu kajian sama aku aja, nggak usah beli tiketnya hehe."

"Ngapain sih, pengajian itu kerjaannya ibu-ibu. Ngebosenin lagi, bikin ngantuk. Dulu padahal kamu suka nonton A pergi ke tempat B, ngelakuin ini itu sama kayak aku. Sekarang dikit-dikit kajian, apa-apa ngga boleh. Nggak seru!"

Aku tersenyum, "iya itu dulu, dan ini aku sekarang."

Seketika ia melengos pergi.

-19 Agustus 2017-
(Terinspirasi dari kajian Ust. Dr. Khalid Basalamah MA.)

***

Tulisan ini pernah saya post di line. Namun karena satu dan lain hal, tidak saya publikasikan lagi di media yang sama. Kini kumpulan-kumpulan tulisan itu akan saya share di blog sebelum terhapus dari memori penyimpanan di handphone.

Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipetik dari untaian kalimatnya.
Teruslah berbahagia!


0 comments:

Post a Comment