Monday, October 22, 2018

Hujan Bulan Juni (Bukan Puisi Sapardi)

Tak ada yang lebih tabah dari jalanan kala hujan Bulan Juni
Dirahasiakan tekstur indahnya, tertutup genangan air dan hancurnya tanah kala itu
Tak ada yang lebih indah dari hujan Bulan Juni
Dirahasiakan rintik rindunya, pada mogoknya mobil di jalan itu

Juni kali ini telah memutus kontraknya dengan panas, kata Pingkan; dalam cuplikan film Hujan Bulan Juni yang dialih wahana dari novel dan puisi karya Eyang Sapardi Joko Damono. Sama seperti kala itu, aku bisa memuaskan jumpa dengan sang hujan. Karena sejak pertengahan hingga akhir bulan Juni, hanya dapat dihitung kapan matahari itu menampakkan wajahnya.

Namun cerita kali ini bukan tentang bagaimana indahnya bulan juni kala hujan, bagaimana sang hujan bulan juni meluapkan rindunya, atau bagaimana cintanya saya pada hujan, apalagi tentang Pingkan. Bukan. Bukan.
Karena saya hanya akan sedikit bercerita tentang ini

source: internet

source: internet

Apa yang terlintas di benak kalian saat melihat gambar itu?
Wah itu di mana?
Itu jalan?
Emang ada jalan rusak separah itu?
Wah mungkin itu editan....

Mungkin banyak sekali pendapat yang spontan kalian lontarkan saat pertama kali melihatnya. Wajar memang, tapi disini saya tidak menggiring kalian untuk saling menyalahkan.

Saya tidak menyalahkan sang hujan, menyalahkan si jalan, atau bahkan menyalahkan keadaan. Karena kejadian seperti ini, sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat setempat ataupun orang-orang yang terbiasa melintas. Setiap tahunnya jika bertepatan dengan musim hujan, penampakan seperti itulah yang akan terjadi.

Sejauh yang saya tahu, tempat yang ada di foto itu tepatnya berlokasi di Kecamatan Gunung Tiga, Kabupaten Tulang Bawang. Jalan itu merupakan jalan perlintasan yang menghubungkan masyarakat dari luar Tulang Bawang menuju ujung selatan Tulang Bawang tepatnya di Rawajitu Timur, berbatasan dengan Sumatera Selatan.
Dan penting untuk kalian tahu, penampakan seperti itu tidak hanya akan ditemui di satu atau dua titik. Tapi dari sepanjang Kecamatan Rawajitu Timur, hingga Kecamatan Gunung Tiga yang berdekatan dengan Simpang Penawar dan Penawar Tama, kalian akan menjumpai hal yang sama.

Kalau saya bisa menggambarkan betapa menyedihkannya keadaan jalan itu saat hujan; jalan itu bahkan tidak hanya bisa digunakan sebagai tempat bagi bebek untuk berenang, tapi bisa menjadi tempat anak kerbau berkubang.
Tentu saya tidak berlebihan. Karena posisinya saya ada di sana saat jalan begitu licin-licinnya, saat kubangan begitu besar-besarnya, saat tanah begitu lengket-lengketnya, dan di beberapa titik akan terjadi kemacetan panjang karena beberapa kendaraan bermuatan besar harus bersabar untuk bergiliran mencari celah jalan dari kubangan.

Sudah sejak dulu, saat saya akan pulang kampung dari Dipasena menuju Kotaagung, kami akan melewati jalan serupa. Mungkin bedanya saat musim kemarau, jalanan itu tidak akan melengketkan ban mobil. Namun di bawah teriknya matahari yang begitu menyengat, debu yang berasal dari tanah merah akan berterbangan di mana-mana. Tak heran jika selepas melintasi jalanan ini, kendaraan apa pun yang sebelumnya bersih akan berwarna coklat penuh dengan debu. Dari dulu hingga sekarang, hal ini selalu menjadi momok bagi petambak Dipasena yang enggan pulang ke kampung halaman. Atau jika sudah pulang, malas untuk kembali. Karena apa? Karena malas melewati jalanan rusaknya, malas berlama-lama dan berlelah-lelah di perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu lebih singkat jika keadaan jalan memadai. 

Keadaan ini cukup untuk membuat kita menghela napas panjang memang. Karena semenjak saya bisa mengingat, hingga saat ini usia saya sudah menginjak kepala dua, bebatuan dan tanah di jalanan itu belum pernah merasakan wanginya aroma aspal.
Namun menurut rumor yang beredar, jalan poros itu akan segera diperbaiki tahun ini. Semoga benar terealisasi, agar kami—anak-anak Dipasena—tidak kerap mengeluh ketika pulang ke rumah sendiri.
Semoga saat Hujan Bulan Juni, air hujan yang jatuh pada aspal jalannya (kelak) bisa seindah sakura yang berguguran di pagi hari~


Siapapun presidennya nanti, yang penting....
#2019gantijalan
#2019jalanaspal

Salam Damai.
Jangan lupa bahagia!

9:13 PM - 1 comment

Dipasena Tanpa Cahaya


Wajah-wajah kecil yang legam terbakar matahari, tetap asyik melangkah dengan riang, tanpa menghiraukan panas yang menyengatnya.
Wajah-wajah kecil yang begitu polos akan dunia, tetap semangat dengan rasa ingin tahu yang mendekapnya, tanpa peduli kemewahan dunia sudah merajai di luar sana.
Meski mereka lupa, tak alpa, bahwa semesta di sekitarnya gulita.

Aku tak berlebihan, kubilang. Tatkala mengatakan jika saat ini Dipasena Tanpa Cahaya. Memang begitu nyatanya, bukan?

Mungkin yang senantiasa kau dengar, Dipasena adalah penghasil udang terbesar di Asia Tenggara. Dipasena adalah penyokong perekonomian tebaik di Indonesia pada masanya. Dipasena adalah wujud dari kesuksesan usaha perairan skala nasional, bahkan dunia.
Namun itu dahulu kala ... sudah sangat lama.

Karena saat ini aku hanya dapat menatap iba. Bilamana Dipasena, sebentar lagi hanya tinggal nama.
Hanya bisa menahan gusar. Tatkala tahu bahwa pasokan listrik pun hingga kini tak berkabar.
Hanya bisa menahan napas sesak. Ketika tahu bahwa banyak yang berteriak namun dunia tetap diam tak bertindak.
Dan mungkin hingga nanti, aku juga hanya dapat diam berpasrah, ketika melihat jalanan penuh rusak berimbah, tanpa mendengar kabar untuk dibenah.

Aku tak memungkiri bahwa aku cinta tempatnya, aku cinta orang-orangnya, suasananya, udaranya, awannya, langitnya dan segala hal yang berhubungan tentangnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa aku kerap kali menekan rindu agar tak salah terluapkan.
Namun yang ku tak tahu adalah cara untuk mengalamatkan kerinduan, jika kelak tempat itu hanya akan menyisakan ruang kosong tanpa kehidupan.

Terakhir dari lubuk hati terdalam, diri ini berharap bahwa Dipasena akan selalu jaya selamanya ... meski tanpa cahaya.

Bandar Lampung, 2018 
Sofia Octaviana

Sunday, August 5, 2018

MENATA KEPINGAN MEMORI (Part 2)

Kepingan Keempat

Sekarang saya mau cerita tentang pusat sosialisasi masyarakat di Dipasena, khususnya di Bumi Dipasena Sejahtera. Jadi di setiap desa di sini, selain ada satu unit sekolah dasar, ada juga sarana sosial lainnya seperti Taman Kanak-Kanak, masjid, lapangan, satu unit pasar, kantor desa, dan pendopo. Di tempat inilah warga biasanya berkumpul untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, perayaan hari-hari besar, acara pengajian, dan sebagainya.


TK Dharma Wanita Bumi Dipasena Sejahtera
Ini TK Bumi Dipasena Sejahtera, lokasinya tepat di samping SDN 01 BD. Sejahtera. TK di sini tak ubahnya seperti TK pada umumnya yang dilengkapi dengan dengan sarana bermain anak-anak. Tapi waktu saya mengambil gambar di sini terlihat rumputnya tinggi-tinggi, barangkali karena masih dalam waktu liburan sekolah, jadi belum ada yang membersihkan.

Oh ya sedikit cerita yang bisa saya ingat ketika masih TK. Seingat saya dulu, di dekat TK BD. Sejahtera belum ada kantin yang berjualan makanan dan jajanan anak-anak seperti sekarang. Juga ibu-ibu yang berjualan gorengan, pempek, abang somay dan sebagainya masih jarang ditemui. Dan sepanjang yang bisa saya ingat, di depan sekolah dulu hanya ada jualan es balon dan jamu yang dijual bude-bude pada pagi hari. Karena biasanya, dari rumah sudah diwanti-wanti oleh ibu “jangan jajan es kalau di sekolah!”. Akhirnya apa boleh buat, tidak ada pilihan lain selain jamu beras kencur yang bisa menjadi alternatif untuk menghabiskan uang jajan ... hahaha.

Jadi singkatnya, saya adalah anak TK yang sehat dengan kearifan lokal karena setiap hari hanya jajan jamu di sekolah.

Lanjut lagi ke tempat lainnya....
 

Foto di atas adalah lapangan di BD. Sejahtera. Kalau dulu, di lapangan ini biasa menjadi tempat pertandingan sepak bola, upacara kemerdekaan, dan sebagainya. Tak hanya itu, seingat saya dulu kalau sedang ada pelajaran olahraga, kami beberapa kali diarahkan guru ke lapangan ini untuk bermain bola kasti. Karena letak lapangan yang tak jauh dari SD kami.
Dan dulu sepanjang yang saya ingat, tempat ini hanya berupa lapangan kosong dengan dua gawang sepakbola di kedua ujungnya. Tapi sekarang, bisa dilihat dalam foto di atas, di kedua sisi lapangan ditanami pohon-pohon yang berjajar rapi, lengkap dengan saung-saung yang entah difungsikan untuk apa.

Nah, di samping lapangan ini ada bangunan terbuka tanpa sekat yang disebut pendopo. Sesuai dengan namanya, bangunan ini berfungsi sebagai tempat berkumpul kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat. Bagian atap bangunan ini berbentuk rumah adat masyarakat Jawa yang biasa disebut Joglo. 

Dan beberapa tahun belakangan ini, di samping pendopo dibangun lapangan voli yang biasa digunakan sebagai tempat berlatih ataupun mengadakan pertandingan.


Kalau di bawah ini adalah beberapa masjid di BD. Sejahtera, sebenarnya ada tiga masjid lengkap dengan TPA untuk anak-anak setempat belajar Al-Qur’an, tapi yang bisa saya dokumentasikan hanya satu masjid. Semoga cukup mewakili ya.

Masjid Bahrussalam
TPA Bumi Dipasena Sejahtera
Oh ya, selain masjid, di setiap Sub Blok umumnya ada mushalla sebagai tempat ibadah harian, karena letak masjidnya lumayan berjauhan satu sama lain. Tapi di sini saya tidak menyertakan foto mushallanya, waktu itu lupa untuk didokumentasikan hehehe.
Kalau ini pasarnya nih
 

Pasarnya terlihat sepi sekali yaa...
Ini karena saya memotret bagian depan. Sekarang yang ramai justru pasar bagian belakang. Belum lagi, saat saya mengambil gambar ini, posisinya sedang liburan sekolah. Sehingga tak ayal, banyak pedagang dan konsumen yang sedang pulang kampung atau yang biasa disebut petambak sebagai cuti
(bahasa ini seolah menjadi sebutan yang biasa bagi masyarakat di sini, dari dulu ketika masih ada perusahaan).

Biasanya para pedagang di pasar ini membeli barang dagangan dari Pasar Rawajitu yang letaknya lumayan jauh jika ditempuh dengan sepeda motor. Jadi, setidaknya pasar ini bisa membantu masyarakat sekitar agar tidak perlu jauh-jauh pergi ke Pasar Rawajitu.

Dan tentunya yang tak ketinggalan. Seperti di kabanyakan desa lainnya, di Bumi Dipasena Sejahtera dilengkapi dengan Kantor Desa dan juga satu unit puskesmas. Tapi untuk puskesmas belum sempat terabadikan.

Bedanya, di sini juga dilengkapi Sekretariat Pengurus Infra-P3UW yang digunakan sebagai pusat konsolidasi bagi pengurus P3UW Bumi Dipasena Sejahtera.
 

Tambahan lagi, ada beberapa foto mess karyawan saat masih ada perusahaan dulu. Ada juga logistik,dan office yang sudah beralih fungsi semenjak hengkangnya perusahaan dari Bumi Dipasena.
.
Mess Karyawan
Office
Logistik
Logistiknya terlihat ramai, karena saya mengambil gambar bertepatan dengan saat pilkada serentak beberapa waktu lalu. Dimana logistik ini menjadi salah satu TPS setempat. Tapi kalau untuk hari-hari biasa, logistik saat ini biasanya digunakan sebagai tempat bermain/latihan badminton bagi anak-anak setempat.


Kepingan Kelima

Terakhir, saya akan sedikit bercerita tentang alat transportasi yang digunakan masyarakat Dipasena. Kalau dulu, semenjak baru-baru dibukanya kawasan Dipasena, alat transportasi darat umumnya adalah masih menggunakan sepeda. Karena keadaan jalan maupun jembatan penghubung hanya memungkinkan untuk dilalui sepeda. Sampai saya SD sepeda masih banyak ditemui di sana. Jadi dulu kalau sekolah, seringnya kami bersama-sama mengendarai sepeda saat berangkat dan pulang sekolah.

Namun seiring perkembangan zaman, mayoritas masyarakat Diasena saat ini sudah memiliki sepeda motor masing-masing. Bahkan sudah agak sulit menemukan sepeda akhir-akhir ini, karena banyak anak-anak seumuran SD pun, sudah diperbolehkan membawa sepeda motor oleh orang tuanya.

Sementara untuk alat transportasi air dari dulu sampai sekarang masih ada yang namanya sampan. Sejenis perahu dayung yang terbuat dari bahan semacam viber. 

Sampan. Source:internet
Ada juga klotok, yaitu perahu kayu yang menggunakan mesin engkol dimana ketika berjalan selalu berbunyi klotok-klotok-klotok yang akhirnya melekat untuk namanya hehehe. Ada juga versi kecil dari klotok yaitu etek, mesin yang digunakan tetap sama, tapi ukuran badannya lebih kecil dari klotok, kira-kira sebesar ukuran sampan. 
Klotok. Source:internet
Dan yang paling populer adalah speed boat (biasanya hanya disebut speed, baca: sepit), perahu berbadan kayu dengan mesin speed boat yang hingga kini masih digunakan membawa udang hasil panen untuk dijual. Bisa juga digunakan sebagai alat transportasi keluar daerah/ke blok lain. Hanya saja karena sudah ada penghubung berupa ponton atau jembatan, maka tak banyak lagi masyarakat yang menggunakan 'sepit' sebagai alat transportasi umum, lebih praktis membawa sepeda motor.
Speed boat. Source:internet
Oh ya ada bonus foto, penampakan jembatan BD Sejahtera yang menjadi penghubung dari satu blok menuju penyebrangan ke arah jalan tanah merah.


Kalau dulu sebelum ada jembatan ini, sarana penyebrangan masih menggunakan ponton yaitu semacam perahu kayu yang atasnya datar dan bisa mengangkut sepeda motor untuk disebrangkan melewati kanal lebar. Di sini saya tidak lagi menemukan ponton di BD Sejahtera, jadi dokumentasinya diambil dari internet. Tapi di desa-desa lain masih banyak yang menggunakan ponton karena belum dibangunnya jembatan penyebrangan.

Ponton penyebrangan. Source:internet
 

Mungkin hanya itu yang bisa saya ceritakan, yang bisa saya gambarkan, dan yang masih bisa saya ingat dari Dipasena. Selebihnya, boleh jadi masih terlampau banyak memori yang belum sempurna tertata, masih terpecah belah seiring lamanya termakan usia.

Tempat ini bukan hanya menjadi rumah singgah bagi para perantau, jauh lebih bermakna dari itu. Masyarakat yang notabenenya berbeda suku, agama dan budaya, benar-benar disatukan di sini, berbekal persamaan senasib sepenganggungan. Kami yang jauh dari keluarga, seolah membentuk keluarga baru yang begitu peduli satu sama lain, mencipta saudara baru yang selalu berbagi dan bekerjasama dalam banyak hal.

Tempat ini adalah wujud nyata dari perjuangan, persaudaraan, kesederhanaan, kedamaian, dan juga cinta.

Tak banyak untaian yang bisa saya sampaikan. Hanya berharap Dipasena akan tetap sentosa, utama, agung, jaya, mulia, makmur, sejahtera dan abadi selamanya.

Salam cinta.
Jangan lupa bahagia!