Tuesday, April 7, 2020

Mau Jadi Apa?

Stasiun kereta terlihat lengang dalam waktu-waktu seperti ini. Kuedarkan pandangan dan memilih duduk di bangku panjang sementara menunggu waktu kereta datang, sekitar lima belas menit lagi sesuai jadwal.

Aku memberhentikan aktivitas mengutak-atik handphone setelah menyadari bapak-bapak di samping menegurku.

"Mau ke mana, Dek?" tanyanya.

Kulirik wajahnya sekilas, ragu-ragu untuk menjawab. Namun kemudian kubalas juga pertanyaannya dengan sopan--sekadar menghargai, pikirku.

"Kuliah ya?"

Aku refleks mengangguk samar, lantas kusadari bahwa bapak di sampingku tak akan menyadari bahwa aku sedang mengangguk. "Iya, Pak," balasku akhirnya.

"Ngambil jurusan apa?" tanyanya lagi, kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan membakar ujungnya.

"Sastra Indonesia, Pak."

"Oh, kalau sastra begitu bakal kerja apa nanti?" Ia menghembuskan asap rokok ke udara.

"Hehe, tergantung nanti kedepannya gimana," jawabku ogah-ogahan. Lagipula aku sudah sering menerima pertanyaan seperti ini dan terlanjur bosan membahasnya.

"Ya bukan tergantung-tergantung gitu. Maksud saya kan kayak jurusan lain misalnya pendidikan jadi guru, terus ada kedokteran, hukum, kan jelas tujuannya."

Aku berusaha menampilkan senyum ke arahnya, "kalau dari sastra bisa jadi penulis, Pak. Atau editor penerbitan, atau bahkan kita yang ngebuat penerbitan sendiri," ujarku mantap.

Lalu ia terkekeh ringan, beberapa kali menghembuskan asap rokoknya lagi ke udara--yang sebenarnya membuatku terganggu.

"Anak-anak sekarang itu suka gitu, cuma suka ngikutin kemauannya aja dan nggak sadar sama orang tua yang banting tulang ngebiayain sekolah mereka," ucapnya tiba-tiba. Ia kemudian mengangkat kaki kanan dan melipatnya hingga ujung kakinya berada di atas lutut--persis seperti di warung kopi. "Kayak mereka yang ngambil jurusan gambar-gambar itu apa namanya, nggak mikirin kedepannya gimana, cuma karena suka aja sama jurusan itu. Padahal lulusan jurusan yang pasti-pasti aja belum tentu jadi orang. Sekarang daftar PNS itu susah, kita mah nggak ada apa-apanya sama ribuan orang yang daftar PNS juga," lanjutnya skeptis.

Sejujurnya kupingku terasa panas mendengarnya, berharap kereta segera tiba dan aku bisa bergegas pergi tanpa memedulikan bapak itu lagi. Namun sayangnya lima belas menit terasa sangat lama.

"Kayak keponakan saya, lulusan pendidikan udah jadi guru dia sekarang. Anak saya juga yang kedua saya masukin ke STM aja biar kalau lulus bisa langsung kerja, minimal bisa buka bengkel sendiri, lah."

Aku makin kesal mendengarnya. Kalau saja ia bukan bapak-bapak, ingin rasanya kubalas habis-habisan ucapannya barusan.

"Semua jurusan itu bagus kok, Pak. Kan tergantung dari kita sendiri gimana ngejalaninnya, dan setiap orang punya jalan sukses masing-masing nggak harus jadi Pegawai Negeri," sambarku cepat. Aku berusaha menjawab dengan suara senormal mungkin meski hati ini ingin meledak-ledak rasanya.

"Zaman sekarang nyari kerjaan itu susah, Dek. Buktinya banyak sarjana yang jadi pengangguran, ujung-ujungnya kerjanya sama aja sama orang yang nggak sekolah tinggi." Ia menyulut lagi rokoknya. "Lagian nggak usahlah nyari jurusan aneh-aneh, yang jurusan pasti-pasti aja belum tentu 'jadi'."

Untungnya, dengungan suara kereta api sudah terdengar. Aku bergegas menggamit ransel lantas berdiri. "Mari, Pak saya duluan, keretanya sudah datang," ujarku berusaha sesopan mungkin lantas beranjak menuju peron.

Dari balik kaca jendela, kudapati bapak itu masih terdiam di sana dan semakin asik menghabiskan puntung rokoknya. Untuk kemudian aku beralih dan enggan menoleh ke arahnya lagi.

***

Sejatinya, setiap jurusan di semua universitas memiliki kelebihan masing-masing. Terlepas itu universitas terbaik atau bukan, jurusan favorit atau tidak, semua memiliki kelebihan sesuai keahliannya.

Pun sama, semua pekerjaan di dunia memiliki kelebihan masing-masing. Terlepas terlihat hebat atau tidak, bergaji besar atau kecil, semua memiliki kelebihan sesuai porsinya.

Dan lagi, apapun jurusan yang kita ambil sekarang, tetap berpegang pada prinsip bahwa kita yang akan menjalani kehidupan kita sendiri. Tak peduli meskipun jurusan kita tidak 'menjamin' bagi orang lain, atau bahkan sudah banyak lulusan-lulusan dari jurusan yang sama dengan kita sehingga menyebabkan semakin banyaknya pengangguran yang tercipta. Kita masih tetap memiliki alasan untuk berada di dalamnya, menjadi yang terbaik di sana, lantas membangun kesuksesan sesuai versi kita sendiri.

Seperti mengutip tulisan Tere Liye "Jadilah pekerja yang kreatif untuk kemudian bicara: besok lusa saya akan menginspirasi siapa, mengubah apa, atau bahkan menciptakan apa lagi nantinya."

-18 Agustus 2017-

***

Tulisan ini pernah saya post di line. Namun karena satu dan lain hal, tidak saya publikasikan lagi di media yang sama. Kini kumpulan-kumpulan tulisan itu akan saya share di blog sebelum terhapus dari memori penyimpanan di handphone.

Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipetik dari untaian kalimatnya.
Teruslah berbahagia!

0 comments:

Post a Comment