Dipasena Tanpa Cahaya
Wajah-wajah
kecil yang legam terbakar matahari, tetap asyik melangkah dengan riang,
tanpa menghiraukan panas yang menyengatnya.
Wajah-wajah
kecil yang begitu polos akan dunia, tetap semangat dengan rasa ingin tahu yang mendekapnya,
tanpa peduli kemewahan dunia sudah merajai di luar sana.
Meski
mereka lupa, tak alpa, bahwa semesta di sekitarnya gulita.
Aku
tak berlebihan, kubilang. Tatkala mengatakan jika saat ini Dipasena Tanpa
Cahaya. Memang begitu nyatanya, bukan?
Mungkin yang senantiasa
kau dengar, Dipasena adalah penghasil udang terbesar di Asia Tenggara. Dipasena
adalah penyokong perekonomian tebaik di Indonesia pada masanya. Dipasena adalah
wujud dari kesuksesan usaha perairan skala nasional, bahkan dunia.
Namun
itu dahulu kala ... sudah sangat lama.
Karena
saat ini aku hanya dapat menatap iba. Bilamana Dipasena, sebentar lagi hanya
tinggal nama.
Hanya
bisa menahan gusar. Tatkala tahu bahwa pasokan listrik pun hingga kini tak
berkabar.
Hanya
bisa menahan napas sesak. Ketika tahu bahwa banyak yang berteriak namun dunia
tetap diam tak bertindak.
Dan
mungkin hingga nanti, aku juga hanya dapat diam berpasrah, ketika melihat
jalanan penuh rusak berimbah, tanpa mendengar kabar untuk dibenah.
Aku
tak memungkiri bahwa aku cinta tempatnya, aku cinta orang-orangnya, suasananya,
udaranya, awannya, langitnya dan segala hal yang berhubungan tentangnya.
Tak
dapat dipungkiri bahwa aku kerap kali menekan rindu agar tak salah terluapkan.
Namun
yang ku tak tahu adalah cara untuk mengalamatkan kerinduan, jika kelak tempat
itu hanya akan menyisakan ruang kosong tanpa kehidupan.
Terakhir
dari lubuk hati terdalam, diri ini berharap bahwa Dipasena akan selalu jaya
selamanya ... meski tanpa cahaya.
Bandar Lampung, 2018
Sofia Octaviana
1 comments:
Tinggalin jejak.. Hihi kangen dipasena.. Insya alloh mau meminang istri diakhir penghujung 2018. Dapet istri orang dipasena, mungkin bisa sering mudik lagi ke tambak. Salam kenal
www.simpangwaru.wordpress.com
Post a Comment