Tuesday, March 2, 2021

11:36 PM - No comments

Menikmati Bahagia

Bertelanjang kaki di atas tanah-tanah kering ladang kopi milik Bapak,
aku menyaksikannya: tertawa
Menikmati terik baskara dengan peluh menetes sampai dada
Berkejaran saling tangkap tanpa beban di kepala: bahagia

Bertelanjang dada di bawah rinai hujan pada tanah lapang dekat kantor desa,
aku memastikannya: betah
Berlarian saling rebut bola dari kaki-kaki kecil yang bergerak lincah tanpa masalah
Tak peduli basah
Terengah-engah

Di sini aku diam,
menyaksikan mereka dalam tawa yang tak kunjung padam
Pesanku tak banyak,
nikmatilah hidup sebagai anak-anak, 
karena dewasa tak seindah dalam benak

Bandar Lampung, 22 September 2019
Sofia Octaviana

Sunday, February 28, 2021

5:41 PM - No comments

Dari Balik Layar Kaca

Ingar bingar dari Aceh hingga Papua
Pun dari Selatan sampai Utara

Aku hanya menyimak dari balik layar kaca
Menikmati penyampaian pewarta berjas rapi di balik meja
Pesta Demokrasi, katanya!
Selebaran, stiker, baliho, terpasang di mana-mana
Wajah-wajah berjilbab dan berpeci terpampang di spanduk-spanduk raksasa

Untuk Indonesia lebih baik!
Satu pilihanmu sangat berarti!
Untuk Indonesia lima tahun kedepan!

Mereka berteriak dengan pelantang suara
Melontar janji-janji pusaka
Rakyat diminta berkumpul
Demi lembaran merah agar kompor mengebul

Kini kembali terdengar
Ingar bingar dari Aceh hingga Papua
Pun dari Selatan sampai Utara

Aku masih menyimak dari balik layar kaca
Menikmati penyampaian pewarta cantik di balik meja
Aksi Demonstrasi, rupanya!
Bendera, karton, spanduk, dibawa ke jalan raya
Puluhan tuntutan dilayangkan hingga ke singgasana penguasa

Reformasi dikorupsi!
KPK dilemahkan!
Ibu Pertiwi nelangsa!
Indonesia sedang tidak baik-baik saja!

Mereka berteriak dengan pelantang suara
Menuntut janji-janji dusta
Namun pemimpin kita tak muncul
Memilih bungkam dengan perasaan masygul

Dan aku tetap menyimak dari balik layar kaca
Dengan rokok di bibir dan kopi di atas meja
Hidup itu dibawa santai saja, serupa para wakil kita di balik meja elit dan kursi empuknya
Merdeka!

Bandar Lampung, 18 Oktober 2019
Sofia Octaviana

Friday, April 10, 2020

Aku Lelah

Kumandang azan maghrib bergema dari masjid di dekat lingkungan kostku. Kubuka kunci kamar kost, meletakkan tas, membersihkan diri, lantas segera melaksanakan shalat maghrib pada waktu lebih dua puluh menit dari saat azan dikumandangkan.

Ayat suci mulai kulantunkan tatkala menyelesaikan shalat. Baru beberapa halaman tuntas dibaca, azan isya sudah datang memanggil kembali.
Lantas kutegakkan tubuh dan melaksanakan shalat sesuai waktunya.

Usai, aku bergegas keluar kamar dan mengetuk pintu kamar di sampingku. Seperti biasa setelah terdengar kunci dibuka, aku dengan cepat menghambur tanpa memedulikan si empunya yang masih asyik bermesra dengan sang sahabat: Al-Qur'an.

Tak lama ia menyelesaikan bacaanya, lantas menoleh ke arahku. "Pulang jam berapa tadi?" tanyanya, bergerak melipat mukena.

"Pas maghrib tadi nyampe." Kurebahkan tubuhku pada kasur berlapis seprai biru muda di kamarnya.

"Gimana tilawah hari ini?" sambarnya lagi. Pertanyaan rutin yang akan selalu kudengar setiap hari.

"Belum selesai, baru dapet empat lembar tadi." Belum ada setengahnya dari targetku menyelesaikan satu juz per hari.

Ia menatapku. "Nggak berniat dilanjutin?" tanyanya--lebih tepatnya kutanggapi sebagai perintah.

"Capek, Di. Besok aja subuh sekalian dirapel," kilahku sekenanya. "Lagian abis ini aku mau nyelesain tugas dulu, mikirin proposal yang belum rampung dan harus selesai lusa, belum lagi konsepan acara ini, rundown acara itu..." Dan berentetan agenda lainnya keluar dari mulutku.

"Mutabaahmu hari ini gimana?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, menatapnya lesu, "banyak yang bolong."

"Tapi kesibukan di organisasimu kelar semua?"

Untuk kedua kalinya aku menggeleng.

Ia kemudian ikut merebahkan diri di sampingku. "Kenapa nggak dikerjain sekarang? Kalau cuma dipikirin kan nggak akan selesai."

"Aku capek, Di. Kadang aku mikir mau ngelepas semua tanggung jawab ini." Kutolehkan kepala, mendapati Dinara yang terdiam menatap langit-langit kamarnya.

"Lagian kalau kamu mundur, kamu yakin bisa menyelesaikan semua kewajiban dengan tenang?"

"Ya pasti," balasku yakin. "Kan nanti aku nggak bakal kepikiran rapat ini-itu, nggak kepikiran proposal LPJ dan sebagainya. Aku bisa lebih fokus kuliah, fokus belajar, lebih banyak tilawah, nambah hafalan."

"Tapi aku ngga seyakin itu, Ra." Ia beralih menatapku singkat, kemudian kembali mengarahkan wajahnya pada langit-langit kamar. "Karena yang aku pelajari, waktu luang itu lebih berbahaya daripada waktu sibuk kita. Di tengah banyaknya waktu luang, semakin mudah setan membisiki kita untuk bermalas-malasan, kan? Kamu masih yakin bisa menyelesaikan semua kewajiban kamu kalau dilanda rasa malas?"

"Tapi kan aku pasti bisa memanajemen waktu, Di. Aku bisa..."

Belum genap aku menyelesaikan ucapanku, Dinara sudah memotong dengan kalimat-kalimat panjangnya. "Justru di situ poinnya, Ra. Bagaimana kamu bisa memanajemen waktu dengan baik. Kalau kamu bisa mengatur waktumu tanpa membiarkan waktu luang terselip sedikit pun di antaranya, kamu pasti bisa menyelesaikan semuanya dengan mudah, sesibuk apa pun kamu. Lagipula kalau ngikutin keinginan kamu tadi, masa kamu mundur dari amanah? Selama ini kamu buat LPJ kegiatan itu mah nggak ada apa-apanya, gimana kamu ngasih LPJ untuk-Nya kalau kamu mundur?"

Aku lantas mengikuti Dinara untuk menatap langit-langit kamarnya. Dan sepersekian detik menerawang lebih jauh melebihi batas di atas sana.

"Ra, percaya sama aku, kamu justru bisa menyelesaikan semua kesibukanmu dengan mudah ketika kesibukanmu dengan Allah terjaga. Bukan sebaliknya," tambahnya.

"Gitu ya, Di?" Aku menatapnya seakan mendapat sesuatu yang baru.

"Coba aja dulu," tandasnya.

Kemudian aku berpamitan keluar, kembali ke kamar, menyelesaikan target tilawah, lantas menyelesaikan tugas kuliah untuk besok yang belum sama sekali kusentuh.

Di dalam pikiran ini sudah ada list-list kegiatan yang akan kulakukan selanjutnya secara beruntutan. Dan bertekad bahwa esok aku akan menumpahkan list-list itu di atas kertas; membagi dan menentukan hal yang dijadikan prioritas.

***

Aku tahu, Dinara bisa seyakin itu karena  ia sudah menjalankan sebelumnya.
Aku tahu, Dinara yang begitu sibuk dengan padatnya aktivitas selalu mengutamakan kewajiban terhadap Rabb-Nya.
Aku tahu, Dinara bisa menyelesaikan semua tanggungjawab dengan tenang dan teratur tanpa keluar sedikit pun keluhan dari mulutnya.

Aku tahu, dan aku malu.

Malu karena selalu sok sibuk dengan urusan dunia, lantas berdalih untuk menjauh dari-Nya.
Malu karena menjalankan tanggung jawab sedikit saja, namun kerap kali berucap lelah.
Malu ... pada Dinara.

-20 Agustus 2017-

***

Tulisan ini pernah saya post di line. Namun karena satu dan lain hal, tidak saya publikasikan lagi di media yang sama. Kini kumpulan-kumpulan tulisan itu akan saya share di blog sebelum terhapus dari memori penyimpanan di handphone.

Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipetik dari untaian kalimatnya.
Teruslah berbahagia!

Wednesday, April 8, 2020

Iya, Ini Aku Sekarang

"Dia alim ya sekarang."
"Iya tuh, kerudungnya gede-gede gitu."
"Nggak asik dia sekarang, diajak apa-apa nggak mau. Dikit-dikit kajian, dikit-dikit ke masjid."
"Iya padahal dulu suka pake jeans."
"Padahal dulu sering ngegosip bareng kita."
"Padahal dulu..."
"Padahal dulu..."

***

Aku duduk terdiam di sudut masjid, membiarkan mushaf di depanku terbuka tanpa sekejap pun dibaca. Ingatanku kembali berputar menayangkan kejadian beberapa hari terakhir di mana hampir semua teman-teman terdekatku memandang heran, bahkan beberapa dari mereka menganggap diri ini sebagai lelucon yang asyik sekali ditertawakan.

"Sejak kapan kamu jadi ustadzah, Ra?"
"Eh, Ra mimpi apa semalem?"
"Awas kalau turun tangga rok nya keserimpet."

Dan mereka pun dengan puasnya tertawa di depanku yang hanya bisa membalas dengan senyuman tipis--meski ada nyeri tak tertahankan di hati.

"Kenapa, Ra?" Sebuah suara familier membuatku tersentak. Segera kuhapus buliran bening yang tiba-tiba menetes dari sudut mata dengan ujung jari.

"Eh, Mba Hasna. Lagi nggak ada kuliah, Mba?" tanyaku kikuk.

"Iya lagi kosong, nanti jam satu ada kuliah lagi," ucapnya lembut. "Pertanyaan Mba nggak mau dijawab apa?"

"Oh, nggak apa-apa kok, Mba." Aku tersenyum salah tingkah. Meski aku tahu Mba Hasna tidak akan pernah puas dengan jawaban 'nggak apa-apa'.

"Ada apa? Cerita aja sama Mba."

Aku mendongak, menatap sorot mata teduh seorang bidadari yang kini duduk di depanku. Wajahnya meneduhkan, senyum yang terkembang di bibirnya menyiratkan ketulusan. Dan aku tak mungkin berpaling demi mendengarkan nasihat-nasihat lembut yang terlontar dari mulutnya.

"Hijrah itu susah ya, Mba," ujarku lirih.

"Nggak ada yang susah, Dek. Selama kamu meniatkan karena Allah, semuanya akan dimudahkan."

"Tapi nggak ada yang ngedukung aku, Mba. Temen-temenku malah banyak yang ngeledek. Memang sih mereka cuma bercanda, tapi kan tetep aja kata-kata mereka bikin sakit hati, Mba." Memang aku tahu ini terdengar berlebihan. Tapi aku tidak dapat memaksakan diri dan selalu berusaha merasa baik-baik saja.

Mba Hasna seketika merengkuhku ke dalam dekapannya. Ia menepuk-nepuk punggungku pelan. "Dek, hijrah itu mudah, semudah kamu memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik, maka banyak yang akan membantumu belajar. Anggap aja saat ini cuma tantangan untuk hijrah kamu, ibarat ujian; kamu harus melewatinya agar lulus, kalau enggak kamu harus mengulang dari awal. Dan tentunya ujian itu akan selalu ada tingkatannya, mungkin ini belum seberapa, kita nggak tahu kan bakal ada ujian serumit apa lagi yang menunggu di depan sana."

Aku terhanyut dan membiarkan air mataku membanjiri kerudung abu-abu yang dikenakannya.

"Hijrah itu mudah dek, yang susah istiqomah. Kalau kamu sukses menghadapi tantangan saat ini, berarti kamu berhasil untuk istiqomah pada tahap ini," lanjutnya.

"Tapi mereka suka ngebanding-bandingin aku yang dulu begini, aku dulu begitu. Kan aku malu, Mba."

Ia tersenyum dan mengangkat bahuku. "Kalau masih ada yang bilang kayak gitu ke kamu senyumin aja dan jawab 'Iya, ini aku sekarang', toh itu masa lalu kan. Adalah pilihan yang benar ketika kamu tahu itu salah dan berusaha mengubahnya. Yang salah itu ketika kamu tau itu salah, tapi kamu tetap menjalankannya."

Kuanggukkan kepalaku singkat dan kembali memeluk Mba Hasna.

"Udah hapus air matanya, malu malah diliat orang nangis-nangisan gini."

Seketika aku menatap sekeliling dan menyadari di masjid ini tidak hanya kami berdua. Segera kuhapus air mata yang sudah merambat sampai menjalari hidung; aku yakin hidungku sudah memerah kali ini. Tiba-tiba aku merutuki diri yang terlalu berlebihan dalam menghadapi sesuatu.

"Tetep semangat berproses. Istiqomah shalihah," ujarnya diiringi senyum.

***

"Ra, nanti beli tiket bareng, yuk. Katanya Super Junior mau ke Indonesia." Rini terlihat bersemangat sekali mengajakku suatu waktu.

"Aduh aku mau ikut kajian nanti, kamu kajian sama aku aja, nggak usah beli tiketnya hehe."

"Ngapain sih, pengajian itu kerjaannya ibu-ibu. Ngebosenin lagi, bikin ngantuk. Dulu padahal kamu suka nonton A pergi ke tempat B, ngelakuin ini itu sama kayak aku. Sekarang dikit-dikit kajian, apa-apa ngga boleh. Nggak seru!"

Aku tersenyum, "iya itu dulu, dan ini aku sekarang."

Seketika ia melengos pergi.

-19 Agustus 2017-
(Terinspirasi dari kajian Ust. Dr. Khalid Basalamah MA.)

***

Tulisan ini pernah saya post di line. Namun karena satu dan lain hal, tidak saya publikasikan lagi di media yang sama. Kini kumpulan-kumpulan tulisan itu akan saya share di blog sebelum terhapus dari memori penyimpanan di handphone.

Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipetik dari untaian kalimatnya.
Teruslah berbahagia!


Tuesday, April 7, 2020

Mau Jadi Apa?

Stasiun kereta terlihat lengang dalam waktu-waktu seperti ini. Kuedarkan pandangan dan memilih duduk di bangku panjang sementara menunggu waktu kereta datang, sekitar lima belas menit lagi sesuai jadwal.

Aku memberhentikan aktivitas mengutak-atik handphone setelah menyadari bapak-bapak di samping menegurku.

"Mau ke mana, Dek?" tanyanya.

Kulirik wajahnya sekilas, ragu-ragu untuk menjawab. Namun kemudian kubalas juga pertanyaannya dengan sopan--sekadar menghargai, pikirku.

"Kuliah ya?"

Aku refleks mengangguk samar, lantas kusadari bahwa bapak di sampingku tak akan menyadari bahwa aku sedang mengangguk. "Iya, Pak," balasku akhirnya.

"Ngambil jurusan apa?" tanyanya lagi, kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan membakar ujungnya.

"Sastra Indonesia, Pak."

"Oh, kalau sastra begitu bakal kerja apa nanti?" Ia menghembuskan asap rokok ke udara.

"Hehe, tergantung nanti kedepannya gimana," jawabku ogah-ogahan. Lagipula aku sudah sering menerima pertanyaan seperti ini dan terlanjur bosan membahasnya.

"Ya bukan tergantung-tergantung gitu. Maksud saya kan kayak jurusan lain misalnya pendidikan jadi guru, terus ada kedokteran, hukum, kan jelas tujuannya."

Aku berusaha menampilkan senyum ke arahnya, "kalau dari sastra bisa jadi penulis, Pak. Atau editor penerbitan, atau bahkan kita yang ngebuat penerbitan sendiri," ujarku mantap.

Lalu ia terkekeh ringan, beberapa kali menghembuskan asap rokoknya lagi ke udara--yang sebenarnya membuatku terganggu.

"Anak-anak sekarang itu suka gitu, cuma suka ngikutin kemauannya aja dan nggak sadar sama orang tua yang banting tulang ngebiayain sekolah mereka," ucapnya tiba-tiba. Ia kemudian mengangkat kaki kanan dan melipatnya hingga ujung kakinya berada di atas lutut--persis seperti di warung kopi. "Kayak mereka yang ngambil jurusan gambar-gambar itu apa namanya, nggak mikirin kedepannya gimana, cuma karena suka aja sama jurusan itu. Padahal lulusan jurusan yang pasti-pasti aja belum tentu jadi orang. Sekarang daftar PNS itu susah, kita mah nggak ada apa-apanya sama ribuan orang yang daftar PNS juga," lanjutnya skeptis.

Sejujurnya kupingku terasa panas mendengarnya, berharap kereta segera tiba dan aku bisa bergegas pergi tanpa memedulikan bapak itu lagi. Namun sayangnya lima belas menit terasa sangat lama.

"Kayak keponakan saya, lulusan pendidikan udah jadi guru dia sekarang. Anak saya juga yang kedua saya masukin ke STM aja biar kalau lulus bisa langsung kerja, minimal bisa buka bengkel sendiri, lah."

Aku makin kesal mendengarnya. Kalau saja ia bukan bapak-bapak, ingin rasanya kubalas habis-habisan ucapannya barusan.

"Semua jurusan itu bagus kok, Pak. Kan tergantung dari kita sendiri gimana ngejalaninnya, dan setiap orang punya jalan sukses masing-masing nggak harus jadi Pegawai Negeri," sambarku cepat. Aku berusaha menjawab dengan suara senormal mungkin meski hati ini ingin meledak-ledak rasanya.

"Zaman sekarang nyari kerjaan itu susah, Dek. Buktinya banyak sarjana yang jadi pengangguran, ujung-ujungnya kerjanya sama aja sama orang yang nggak sekolah tinggi." Ia menyulut lagi rokoknya. "Lagian nggak usahlah nyari jurusan aneh-aneh, yang jurusan pasti-pasti aja belum tentu 'jadi'."

Untungnya, dengungan suara kereta api sudah terdengar. Aku bergegas menggamit ransel lantas berdiri. "Mari, Pak saya duluan, keretanya sudah datang," ujarku berusaha sesopan mungkin lantas beranjak menuju peron.

Dari balik kaca jendela, kudapati bapak itu masih terdiam di sana dan semakin asik menghabiskan puntung rokoknya. Untuk kemudian aku beralih dan enggan menoleh ke arahnya lagi.

***

Sejatinya, setiap jurusan di semua universitas memiliki kelebihan masing-masing. Terlepas itu universitas terbaik atau bukan, jurusan favorit atau tidak, semua memiliki kelebihan sesuai keahliannya.

Pun sama, semua pekerjaan di dunia memiliki kelebihan masing-masing. Terlepas terlihat hebat atau tidak, bergaji besar atau kecil, semua memiliki kelebihan sesuai porsinya.

Dan lagi, apapun jurusan yang kita ambil sekarang, tetap berpegang pada prinsip bahwa kita yang akan menjalani kehidupan kita sendiri. Tak peduli meskipun jurusan kita tidak 'menjamin' bagi orang lain, atau bahkan sudah banyak lulusan-lulusan dari jurusan yang sama dengan kita sehingga menyebabkan semakin banyaknya pengangguran yang tercipta. Kita masih tetap memiliki alasan untuk berada di dalamnya, menjadi yang terbaik di sana, lantas membangun kesuksesan sesuai versi kita sendiri.

Seperti mengutip tulisan Tere Liye "Jadilah pekerja yang kreatif untuk kemudian bicara: besok lusa saya akan menginspirasi siapa, mengubah apa, atau bahkan menciptakan apa lagi nantinya."

-18 Agustus 2017-

***

Tulisan ini pernah saya post di line. Namun karena satu dan lain hal, tidak saya publikasikan lagi di media yang sama. Kini kumpulan-kumpulan tulisan itu akan saya share di blog sebelum terhapus dari memori penyimpanan di handphone.

Selamat membaca. Semoga ada yang bisa dipetik dari untaian kalimatnya.
Teruslah berbahagia!